Oleh: Joko Sulianto, Setyo Hartanto
Abstrak
Menurut Ausubel belajar dapat
diklasifikasikan ke dalam dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara
informasi atau materi pelajaran yang disajikan pada siswa melalui penerimaan
atau penemuan. Dimensi kedua menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkan
informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada. Meliputi fakta, konsep,
dan generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa. Agar terjadi
belajar bermakna, konsep baru atau informasi baru harus dikaitkan dengan konsep
konsep yang telah ada dalam struktur kognitif siswa. Dan harus memperhatikan
prinsip prinsip berikut; pengatur awal, diferensiasi progresif, belajar
superordinate, dan penyesuaian integrative. Pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan teori belajar Dienes melalui tahapan berikut; permainan bebas,
permainan yang menggunakan aturan, permainan kesamaan sifat, permainan
representasi, permainan simbolisasi, permainan formalisasi. Pembelajaran dengan
pendekatan teori Van Heille melalui tahapan: tahap pengenalan, tahap analisis,
tahap pengurutan, tahap deduksi formal, tahap keakuratan.
Kata Kunci: Belajar bermakna, belajar permainan, belajar geometri
Pendahuluan
Belajar tidak hanya sekedar
menghafal melainkan mencoba mengaitkan antar konsep yang sudah ada didalam
struktur kognitif dengan informasi baru sehingga menjadi lebih bermakna. Matematika
merupakan ilmu pengetahuan yang penting sebagai pengantar ilmu-ilmu pengetahuan
yang lain dan banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Pengajaran
matematika tidak hanya ditekankan pada kemampuan berhitung, tetapi pada
konsep-konsep matematika yang berkenaan dengan ide-ide yang bersifat abstrak.
Sehingga diperlukan metode atau strategi dalam menyampaikan materi matematika
yang abstrak itu menjadi konkret, selanjutnya dari permasalahan yang konkret
tersebut baru dialihkan kebentuk konsep-konsep matematika yang abstrak. Untuk
mengawali penyampaian materi yang abstrak melalui konkret itu dapat berpedoman
pada teori belajar Dienes. Pada teori belajar Dienes, ditekankan pembentukan
konsep-konsep melalui permainan yang mengarah pada pembentukan konsep yang
abstrak. Teori belajar Dienes ini sangat terkait dengan teori belajar yang
dikemukakan oleh Piaget, yaitu mengenai teori perkembangan intelektual. Jean
Piaget berpendapat proses berpikir manusia sebagai suatu perkembangan yang
bertahap dari berpikir intelektual konkret ke abstrak berurutan melalui empat
periode. Urutan periode itu tetap bagi setiap orang, namun usia atau kronologis
pada setiap orang yang memasuki setiap periode berpikir yang lebih tinggi
berbeda-beda tergantung kepada masing-masing individu. Selaian menggunakan
pendekatan teori Dienes dapat juga digunakan teori belajar Van Heille tentang
pembelajaran geometri.
Rumusan
Masalah
Bagaimanakah
implementasi teori belajar David Ausubel dalam proses pembelajaran?
Bagaimanakah
implementasi teori belajar Zoltan P Dienes dalam proses pembelajaran?
Bagaimanakah implementasi
teori belajar Van Heille dalam proses pembelajaran geometri?
Pembahasan
Teori Belajar David Ausubel
David Ausubel
adalah seorang ahli psikologi pendidikan. Ausebel memberi penekanan pada
belajar bermakna. Menurut Ausubel belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua
dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi
pelajaran yang disajikan pada siswa melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi
kedua menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada
struktur kognitif yang telah ada. Meliputi fakta, konsep, dan generalisasi yang
telah dipelajari dan diingat oleh siswa.
Pada tingkat pertama dalam belajar, informasi dapat dikomunikasikan pada
siswa dalam bentuk belajar penerimaan yang menyajikan informasi itu dalam bentuk
final ataupun dalam bentuk belajar penemuan yang mengharuskan siswa untuk
menemukan sendiri sebagaian atau seluruh materi yang akan diajarkan. Dalam
tingkat ke dua siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi itu pada
pengetahuan yang telah dimilikinya; dalam hal ini terjadi belajar bermakna.
Akan tetapi siswa itu dapat juga hanya mencoba-coba menghafalkan informasi baru
itu tanpa menghubungkan dengaan pengetahuan yang sudah ada dalam struktur
kognitifnya; dalam hal ini terjadi belajar hafalan.
Belajar Bermakna
Bagi Ausebel belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya
informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur
kognitif seseorang. Dalam belajar bermakna, informasi baru diasimilasikan pada
subsume-subsumer yang telah ada. Dalam belajar bermakna, informasi baru a, b, c
dikaitkan pada konsep-konsep relevan dalam struktur kognitif (subsume A, B, C).
Menurut Ausubel dan juga Novak (1977), ada tiga kebaikan dalam dari
belajar bermakna, Yaitu: (1). Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih
lama dapat diingat, (2). Informasi yang tersubsumsi berakibatkan peningkatan
deferensiasi dari subsume subsume, jadi memudahkan proses belajar berikutnya
untuk materi belajar yang mirip, (3). Informasi yang dilupakan sesudah subsumsi
akan mempermudah belajar hal-hal yang mirip walaupun telah terjadi lupa.
Belajar Hafalan
Bila dalam struktur kognitif seseorang tidak terdapat konsep konsep
relevan atau subsume-susumer relevan, informasi baru dipelajari secara hafalan.
Bila tidak ada usaha yang dilakukan untuk mengasimilasikan pengetahuan baru
pada konsep konsep relevan yang sudah ada dalam struktur kognitif, akan terjadi
belajar hafalan.
Variabel yang
mempengaruhi belajar penerimaan bermakna
Faktor faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel
ialah struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam
suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Sifat sifat struktur
kognitif menentukan validitas dan kejelasan arti arti yang timbul saat
informasi baru masuk ke dalam struktur kognitif, demikian pula proses interaksi
yang terjadi. Prasyarat belajar bermakna sebagai berikut: (1) materi yang akan
dipelajari harus bermakna secara potensial, (b) siswa yang akan belajar harus
bertujuan melaksanakan belajar bermakna, tujuan siswa merupakan factor utama
dalam belajar bermakna.
Menerapkan Teori Ausubel dalam Mengajar
Untuk dapat
menerapkan teori Ausubel dalam mengajar, agar terjadi belajar bermakna, konsep
baru atau informasi baru harus dikaitkan dengan konsep konsep yang telah ada
dalam struktur kognitif siswa. Konsep atau prinsip yang perlu diperhatikan
dalam belajar bermakna:
- Pengaturan
awal
Pengaturan awal mengarahkan para siswa ke materi yang akan mereka
pelajari dan menolong mereka untuk mengingat kembali informasi yang berhubungan
yang dapat dipergunakan dalam membantu menanamkan pengetahuan baru.
- Diferensiasi
Progresif
Proses penyusunan konsep dengan cara mengajarkan konsep yang paling
inklusif, kemudian konsep kurang inklusif, dan terakhir adalah hal hal yang
paling khusus
- Belajar
Superordinat
Belajar superordinate terjadi bila konsep konsep yang telah dipelajari
sebelumnya.
- Penyesuaian
Integratif
Untuk mencapai
penyesuaian integrative, materi pelajaran hendaknya disusun demikian rupa
sehingga kita menggerakkan hierarki hierarki konseptual keatas dan ke bawah
selama informasi disajikan.
Teori Zoltan P Dienes
Zoltan P. Dienes
adalah seorang matematikawan yang memusatkan perhatiannya pada cara-cara
pengajaran terhadap anak-anak. Dasar teorinya bertumpu pada teori piaget, dan
pengembangannya diorientasikan pada anak-anak, sedemikian rupa sehingga sistem
yang dikembangkannya itu menarik bagi anak yang mempelajari matematika. Dienes
berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap sebagai studi tentang
struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan diantara struktur-struktur dan
mengkatagorikan hubungan-hubungan di antara struktur-struktur. Dienes
mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang
disajikan dalam bentuk yang konkret akan dapat dipahami dengan baik. Ini
mengandung arti bahwa benda-benda atau obyek-obyek dalam bentuk permainan akan
sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika.
Makin banyak
bentuk-bentuk yang berlainan yang diberikan dalam konsep-konsep tertentu, akan
makin jelas konsep yang dipahami anak, karena anak-anak akan memperoleh hal-hal
yang bersifat logis dan matematis dalam konsep yang dipelajarinya itu.
Dalam mencari
kesamaan sifat anak-anak mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-sifat
kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih anak-anak dalam
mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan mereka dengan
mentranslasikan kesamaan struktur dari bentuk permainan yang satu ke bentuk
permainan lainnya. Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak
yang ada dalam permainan semula..
Menurut Dienes konsep-konsep matematika akan berhasil jika dipelajari
dalam tahap-tahap tertentu. Dienes membagi tahap-tahap belajar menjadi 6 tahap,
yaitu:
1. Permainan
Bebas (Free Play)
Dalam setiap tahap belajar, tahap yang paling awal dari pengembangan
konsep bermula dari permainan bebas. Permainan bebas merupakan tahap belajar
konsep yang aktifitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Anak didik
diberi kebebasan untuk mengatur benda. Selama permainan pengetahuan anak
muncul. Dalam tahap ini anak mulai membentuk struktur mental dan struktur sikap
dalam mempersiapkan diri untuk memahami konsep yang sedang dipelajari. Misalnya
dengan diberi permainan block logic, anak didik mulai mempelajari konsep-konsep
abstrak tentang warna, tebal tipisnya benda yang merupakan ciri/sifat dari
benda yang dimanipulasi.
2. Permainan
yang Menggunakan Aturan (Games)
Dalam permainan
yang disertai aturan siswa sudah mulai meneliti pola-pola
dan keteraturan
yang terdapat dalam konsep tertentu. Keteraturan ini mungkin terdapat dalam
konsep tertentu tapi tidak terdapat dalam konsep yang lainnya. Anak yang telah
memahami aturan-aturan tadi. Jelaslah, dengan melalui permainan siswa diajak
untuk mulai mengenal dan memikirkan bagaimana struktur matematika itu. Makin
banyak bentuk-bentuk berlainan yang diberikan dalam konsep tertentu, akan
semakin jelas konsep yang dipahami siswa, karena akan memperoleh hal-hal yang
bersifat logis dan matematis dalam konsep yang dipelajari itu. Menurut Dienes,
untuk membuat konsep abstrak, anak didik memerlukan suatu kegiatan untuk
mengumpulkan bermacam-macam pengalaman, dan kegiatan untuk yang tidak relevan
dengan pengalaman itu. Contoh dengan permainan block logic, anak diberi
kegiatan untuk membentuk kelompok bangun yang tipis, atau yang berwarna merah,
kemudian membentuk kelompok benda berbentuk segitiga, atau yang tebal, dan
sebagainya. Dalam membentuk kelompok bangun yang tipis, atau yang merah, timbul
pengalaman terhadap konsep tipis dan merah, serta timbul penolakan terhadap
bangun yang tipis (tebal), atau tidak merah (biru, hijau, kuning).
3. Permainan
Kesamaan Sifat (Searching for
communalities)
Dalam mencari
kesamaan sifat siswa mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-sifat
kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih dalam mencari
kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan mereka dengan menstranslasikan
kesamaan struktur dari bentuk permainan lain. Translasi ini tentu tidak boleh
mengubah sifat-sifat abstrak yang ada dalam permainan semula. Contoh kegiatan
yang diberikan dengan permainan block logic, anak dihadapkan pada kelompok
persegi dan persegi panjang yang tebal, anak diminta
mengidentifikasi
sifat-sifat yang sama dari benda-benda dalam kelompok tersebut
(anggota kelompok).
4. Permainan
Representasi (Representation)
Representasi
adalah tahap pengambilan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Para siswa
menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu. Setelah mereka berhasil
menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat dalam situasi-situasi yang
dihadapinya itu. Representasi yang diperoleh ini bersifat abstrak, Dengan
demikian telah mengarah pada pengertian struktur matematika yang sifatnya
abstrak yang terdapat dalam konsep yang sedang dipelajari. Contoh kegiatan anak
untuk menemukan banyaknya diagonal poligon (misal segi dua puluh tiga) dengan
pendekatan induktif seperti berikut ini.
Segitiga
Segiempat Segilima Segienam Segiduapuluhtiga
0 diagonal 2 diagonal 5 diagonal ..... diagonal ……. diagonal
5. Permainan
dengan Simbolisasi (Symbolization)
Simbolisasi
termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan merumuskan
representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol matematika
atau melalui perumusan verbal. Sebagai contoh, dari kegiatan mencari banyaknya
diagonal dengan pendekatan induktif tersebut, kegiatan berikutnya menentukan
rumus banyaknya diagonal suatu poligon yang digeneralisasikan dari pola yang
didapat anak.
6. Permainan
dengan Formalisasi (Formalization)
Formalisasi
merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam tahap ini siswa-siswa
dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan kemudian merumuskan
sifat-sifat baru konsep tersebut, sebagai contoh siswa yang telah mengenal
dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampu
merumuskan
teorema dalam arti membuktikan teorema tersebut. Contohnya, anak didik telah
mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampu
merumuskan suatu teorema berdasarkan aksioma, dalam arti membuktikan teorema
tersebut.
Pada tahap
formalisasi anak tidak hanya mampu merumuskan teorema serta membuktikannya
secara deduktif, tetapi mereka sudah mempunyai pengetahuan tentang sistem yang
berlaku dari pemahaman konsep-konsep yang terlibat satu sama lainnya. Misalnya
bilangan bulat dengan operasi penjumlahan peserta sifat-sifat tertutup,
komutatif, asosiatif, adanya elemen identitas, dan mempunyai elemen invers,
membentuk sebuah sistem matematika. Dienes menyatakan bahwa proses pemahaman
(abstracton) berlangsung selama belajar. Untuk pengajaran konsep matematika
yang lebih sulit perlu dikembangkan materi matematika secara kongkret agar
konsep matematika dapat dipahami dengan tepat. Dienes berpendapat bahwa materi
harus dinyatakan dalam berbagai penyajian (multiple embodiment), sehingga
anak-anak dapat bermain dengan bermacam-macam material yang dapat mengembangkan
minat anak didik. Berbagai penyajian materi (multiple embodinent) dapat
mempermudah proses pengklasifikasian abstraksi konsep.
Menurut Dienes,
variasi sajian hendaknya tampak berbeda antara satu dan
lainya sesuai
dengan prinsip variabilitas perseptual (perseptual variability), sehingga anak
didik dapat melihat struktur dari berbagai pandangan yang berbeda-beda dan
memperkaya imajinasinya terhadap setiap konsep matematika yang disajikan.
Berbagai sajian (multiple embodiment) juga membuat adanya manipulasi secara
penuh tentang variabel-variabel matematika. Variasi matematika dimaksud untuk
membuat lebih jelas mengenai sejauh mana sebuah konsep dapat digeneralisasi
terhadap konsep yang lain. Dengan demikian, semakin banyak bentuk-bentuk
berlainan yang diberikan dalam konsep tertentu, semakin jelas bagi anak dalam
memahami konsep tersebut.
Berhubungan
dengan tahap belajar, suatu anak didik dihadapkan pada permainan yang
terkontrol dengan berbagai sajian. Kegiatan ini menggunakan kesempatan untuk
membantu anak didik menemukan cara-cara dan juga untuk mendiskusikan
temuan-temuannya. Langkah selanjutnya, menurut Dienes, adalah memotivasi anak didik
untuk mengabstraksikan pelajaran tanda material kongkret dengan gambar yang
sederhana, grafik, peta dan akhirnya memadukan simbolo - simbol dengan konsep
tersebut. Langkah-langkah ini merupakan suatu cara untuk memberi kesempatan
kepada anak didik ikut berpartisipasi dalam proses penemuan dan formalisasi
melalui percobaan matematika. Proses pembelajaran ini juga lebih melibatkan
anak didik pada kegiatan belajar secara aktif dari pada hanya sekedar
menghapal. Pentingnya simbolisasi adalah untuk meningkatkan kegiatan matematika
ke satu bidang baru.
Dari sudut pandang tahap belajar, peranan guru adalah untuk mengatur
belajar anak didik dalam memahami bentuk aturan-aturan susunan benda walaupun
dalam skala kecil. Anak didik pada masa ini bermain dengan simbol dan aturan
dengan bentuk-bentuk kongkret dan mereka memanipulasi untuk mengatur serta
mengelompokkan aturan-aturan Anak harus mampu mengubah fase manipulasi
kongkret, agar pada suatu waktu simbol tetap terkait dengan pengalaman
kongkretnya.
Teori Belajar
Van Hielle
Teori Van Hiele
yang dikembangkan oleh Pierre Marie van Hiele dan Dina van Hiele-Geldof sekitar
tahun 1950-an telah diakui secara internasional dan memberikan pengaruh yang
kuat dalam pembelajaran geometri sekolah. Uni Soviet dan Amerika Serikat adalah
contoh negara yang telah mengubah kurikulum geometri berdasar pada teori van
Hiele. Pada tahun 1960-an, Uni Soviet telah melakukan perubahan kurikulum
karena pengaruh teori van Hiele. Sedangkan di Amerika Serikat pengaruh teori
van Hiele mulai terasa sekitar permulaan tahun 1970-an. Sejak tahun 1980-an,
penelitian yang memusatkan pada teori van Hiele terus meningkat.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan membuktikan bahwa penerapan
teori van Hiele memberikan dampak yang positif dalam pembelajaran geometri.
Bobango (1993:157) menyatakan bahwa pembelajaran yang menekankan pada tahap
belajar van Hiele dapat membantu perencanaan pembelajaran dan memberikan hasil
yang memuaskan. Senk (1989:318) menyatakan bahwa prestasi siswa SMU dalam
menulis pembuktian geometri berkaitan secara positif dengan teori van Hiele.
Mayberry (1983:67) berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa konsekuensi
teori van Hiele adalah konsisten. Burger dan Shaughnessy (1986:47) melaporkan
bahwa siswa menunjukkan tingkah laku yang konsisten dalam tingkat berpikir
geometri sesuai dengan tingkatan berpikir van Hiele. Susiswo (1989:77)
menyimpulkan bahwa pembelajaran geometri dengan pembelajaran model van Hiele
lebih efektif daripada pembelajaran konvensional. Selanjutnya Husnaeni
(2001:165) menyatakan bahwa penerapan model van Hiele efektif untuk peningkatan
kualitas berpikir siswa
Van Hiele adalah seorang pengajar matematika Belanda yang telah
mengadakan penelitian di lapangan, melalui observasi dan tanya jawab, kemudian
hasil penelitiannya di tulis dalam disertasinya pada tahun 1954. Penelitian
yang di lakukan Van Hiele melahirkan beberapa kesimpulan mengenai tahap-tahap
perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri, Van Hiele menyatakan bahwa
terdapat 5 tahap pemahaman geometri, yaitu Tahap pengenalan, analisis,
pengurutan, deduksi, dan keakuratan.
1. Tahap Pengenalan
Tahap ini juga dikenal dengan
tahap dasar, tahap rekognisi, tahap holistik, tahap visual Pada tahap ini siswa
hanya baru mengenal bangun-bangun geometri, seperti bola, kubus, segitiga,
persegi dan bangun-bangun geometri yang lainnya. Seandainya kita hadapkan
dengan sejumlah bangun-bangun geometri, anak dapat memilah dan menunjukkan
bentuk segitiga. Pada tahap pengenalan anak belum dapat menyebutkan sifat-sifat
dari bangun-bangun geometri yang di kenalnya itu. Sehingga apabila kita ajukan
pertanyaan, seperti “Apakah pada sebuah
persegi panjang, sisi-sisi yang berhadapan panjangnya sama?”, “Apakah pada
persegi panjang kedua diagonalmnya sama panjang?”, sisiwa tidak akan bisa
menjawabnya. Guru harus memahami betul karakter anak pada tahap pengenalan,
jangan sampai anak diajarkan sifat-sifat bangun-bangun geometri tersebut, anak
akan menerimanya melalaui hafalan bukan dengan pengertian.
2. Tahap Analisis
Tahap ini juga dikenal dengan tahap deskriptif. Pada tahap ini sudah
tampak adanya analisis terhadap konsep dan sifat-sifatnya. Apabila dalam tahap
pengenalan anak belum mengenal sifat-sifat dari bangun-bangun geometri, tidak
demikian pada tahap Analisis. Pada tahap
ini anak sudah sudah dapat memahami sifat-sifat dari bangun-bangun
geometri. Pada tahap ini anak sudah mengenal difat-sifat bangun geometri,
seperti pada sebuah kubus sisinya ada 6 buah, sedangkan banyak rusuknya ada 12.
Seandainya kita tanyakan apakah kubus itu balok, anak pada tahap ini belum memahami hubungan
antara balok dan kubus. Anak pada tahap ananlisis belum mampu mengetahui
hubungan yang terkait antara suatu bangun geometri dengan geometri lainya.
3. Tahap Pengurutan ( Deduksi Informal )
Tahap ini juga dikenal dengan tahap abstrak, tahap abstrak/relasional,
tahap teoritik, dan tahap keterkaitan. Hoffer, Argyropoulos dan Orton
menyebut tahap ini dengan tahap ordering. Pada tahap ini pemahaman siswa
terhadap geometri lebih meningkat lagi dari sebelumnya yang hanya mengenal
bangun-bangun geometri beserta sifat-sifatnya. Pada tahap ini anak sudah mampu
mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangun geometri dengan bangun
geometri lainya. Misalnya, siswa sudah mnegetahui jajaran genjang itu
trapesium, belah ketupat adalah layang-layang, kubus itu adalah balok. Pada
tahap ini anak sudah mulai mampu untuk penarikan kesimpulan secara deduktif,
tetapi masih pada tahap awal artinya belum berkembang baik. Oleh karena masih
pada tahap awal siswa masih belum memberikan alasan yang rinci ketika ditanya
mengapa kedua diagonal persegi panjang itu sama, mengapa kedua diagonal pada
persegi saling tegak lurus.
4. Tahap Deduksi Formal
Pada tahap ini anak sudah dapat memahami deduksi, yaitu mengambil kesimpulan
secara deduktif. Pengambilan kesimpulan secara deduktif , yaitu penarikan
kesimpulan dari hal- hal yang bersifat khusus. Seperti kita ketahui bahwa
matematika adalah ilmu deduktif. Matematika dikatakan sebagai ilmu deduktif
karena pengambilan kesimpulan, membuktikan teorema dilakukan dengan cara
deduktif. Sebagai contoh, untuk menunjukkan bahwa jumlah sudut-sudut dalam
jajaran genjang adalah 3600 secara
deduktif dibuktikan dengan menggunakan prinsip kesejajaran. Pembuktian secara
induktif, yaitu dengan memotong-motong sudut – sudut benda jajaran genjang
kemudian setelah itu ditunjukkan semua sudutnya membentuk sudut satu putaran
penuh atau 3600 belum tuntas dan belum tentu tepat. Seperti diketahui bahwa
pengukuran itu pada dasarnya mencari nilai yang paling dekat dengan ukuran yang
sebenarnya, jadi mungkin bias keliru dalam mengukur sudut-sudut jajaran genjang
tersebut. Untuk itu, pembuktian secara deduktif merupakan cara yang tepat dalam
pembuktian pada matematika.
Clements &
Battista juga menyebut tahap ini dengan tahap metematika, sedangkan Muser
dan Burger menyebut dengan tahap aksiomatik
Anak pada tahap ini telah mengerti pentingnya peranan unsur-unsur yang
tidak didefinisikan, disamping unsur-unsur yang didefinisikan , aksioma atau
problem, dan teorema. Anak pada tahap ini belum memahami kegunaan dari suatu
sistem deduktif. Oleh karena itu, anak pada tahap ini belum bisa menjawab
pertanyaan mengapa sesuatu itu disajikan teorema atau dalil.
5. Tahap Keakuratan
Tahap terakhir dari perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri
adalah tahap keakuratan. Pada tahap ini anak sudah memahami betapa pentingnya
ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Anak pada
tahap ini sudah memahami mengapa sesuatu itu di jadikan postulat atau dalil.
Dalam matematika kita tahu bahwa betapa pentingnya suatu sistem deduktif. Tahap
keakuratan merupakan tahap tertinggi dalam memahami geometri. Pada tahap ini
memerlukan tahap berpikir yang kompleks dan rumit. Oleh karena itu, jarang atau
hanya sedikt sekali anak yang sampai pada tahap berpikir ini sekalipun anak
tersebut sudah berada di tingkat SMU.
Selain mengemukakan mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif dalam memahami geometri Van Hiele
juga mengemukakan beberapa teori berkaitan dengan pengajaran geometri. Teori
yang dikemukakan Van Hiele antara lain adalah sebagai berikut.
Tiga unsur
yang utama pengajaran geometri, yaitu waktu, materi pengajaran dan metode
penyusun apabila dikelola secara terpadu dapat mengakibatkan meningkatkan
kemampuan berpikir anak kepada tahap yang lebih tinggi dari tahap yang
sebelumnya.
Apabila dua orang yang mempunyai tahap berpikir berlainan satu sama lain,
kemudian saling bertukar pikiran maka kedua orang tersebut tidak akan mengerti.
Sebagai contoh, seorang anak tidak mengerti mengapa gurunya membuktikan bahwa
jumlah sudut-sudut dalam sebuah jajaran genjang adalah 3600 , misalnya anak itu
berada pada tahap pengurutan ke bawah. Menurut anak pada tahap yang di
sebutkan, pembuktiannya tidak perlu sebab sudah jelas bahwa jumlah
sudut-sudutnyta adalah 3600. Contoh yang lain seorang anak yang berada paling
tinggi pada tahap kedua atau tahap analisis , tidak mengerti apa yang di
jelaskan gurunya bahwa kubus itu adalah balok, belah ketupat itu layang-layang.
Gurunya pun sering tidak mengerti mengapa anak yang di beri penjelasan tersebut
tidak memahaminya. Menurut Van Hiele seorang anak yang berada pada tingkat yang
lebih rendah tidak mengerti /memahami materi yang berada pada tingkat yang
lebih tinggi dari anak tersebut. Kalaupun anak itu di paksakan untuk
memahaminya, anak itu baru bisa memahami melalui hafalan saja bukan melalui
pengertian.
Untuk mendapatkan hasil yang di inginkan, yaitu anak memahami geometri
dengan pengertian, kegiatan belajar anak harus disesuaikan dengan tingkat
perkembangan anak atau disesuaikan dengan taraf berpikirnya. Dengan demikian
anak dapat memperkaya pengalaman dan berpikirnya., selain itu sebagai persiapan
untuk meningkatkan tahap berpikirnya kepada tahap yang lebih tinggi dari tahap
sebelumnya.
Teori van
Hiele mempunyai karakteristik, yaitu
- Tahap-tahap tersebut bersifat hirarki dan
sekuensial,
- Kecepatan berpindah dari tahap ke tahap berikutnya
lebih bergantung pada pembelajaran, dan
- Setiap tahap mempunyai kosakata dan sistem relasi
sendiri-sendiri.
- Burger dan Culpepper juga menyatakan bahwa setiap
tahap memiliki karakteristik bahasa, simbol dan metode penyimpulan
sendiri-sendiri.
Setiap tahap dalam teori van Hiele, menunjukkan karakteristik proses
berpikir siswa dalam belajar geometri dan pemahamannya dalam konteks geometri.
Kualitas pengetahuan siswa tidak ditentukan oleh akumulasi pengetahuannya,
tetapi lebih ditentukan oleh proses berpikir yang digunakan.
Manfaat
Teori Belajar Van Hiele Dalam Pengajaran Geometri
Teori-teori yang disampaikan oleh van hiele memang lebih sempit
dibandingkan teori-teori yang dikemukakan oleh Piaget dan Dienes karena dia
hanya mengkhususkan pada pengajaran geometri saja. Meskipun sumbangan tidak
sedikit dalam pengajaran geometri. Berikut hal-hal yang diambil manfaatnya dari
teori yang dikemukakan.
Guru dapat mengambil mafaat dari tahap-tahap perkembangan kognitif anak
yang dikemukakan Van Hiele. Guru dapat mengetahui mengapa seorang anak tidak
memahami bahwa kkubus itu merupakan balok karena anak tersebut tahap
berpikirnya masih berada pada tahap analisis kebawah, anak belum masuk pada tahap pengurutan.
Supaya anak dapat memahami geometri dengan pengertian, pengajaran
geometri harus disesuaikan dengan tahap berpikir anak, jadi jangan sekali-kali
memberi pengajaran materi yang sebenarnya berada diatas tahap berpikirnya.
Selain itu dihindari siswa untuk menyesuiakan dirinya dengan tahap pengajaran
guru, tetapi yang terjadi harus sebaliknya.
Agar topik-topik pada materai geomeatri dapat dipahami dengan baik anak
dapat mempelajari topik-topik tersebut berdasarkan urutan tingkat kesukaranya
dimulai dari tingkat yang paling mudah sampai dengan tingkat yang paling rumit
dan kompleks. Tahap-tahap berpikir van Hiele akan dilalui siswa secara
berurutan. Dengan demikian siswa harus melewati suatu tahap dengan matang
sebelum menuju tahap berikutnya. Kecepatan berpindah dari suatu tahap ke tahap
berikutnya lebih banyak bergantung pada isi dan metode pembelajaran daripada
umur dan kematangan. Dengan demikian, guru harus menyediakan pengalaman belajar
yang cocok dengan tahap berpikir siswa.
Kesimpulan
- Agar
terjadi belajar bermakna, konsep baru atau informasi baru harus dikaitkan
dengan konsep konsep yang telah ada dalam struktur kognitif siswa. Dan
harus memperhatikan prinsip prinsip berikut; pengatur awal, diferensiasi
progresif, belajar superordinate, dan penyesuaian integrative.
- Pembelajaran
dengan menggunakan pendekatan teori belajar Dienes melalui tahapan
berikut; permainan bebas, permainan yang menggunakan aturan, permainan
kesamaan sifat, permainan representasi, permainan simbolisasi, permainan
formalisasi.
- Pembelajaran
dengan pendekatan teori Van Heille melalui tahapan: tahap pengenalan,
tahap analisis, tahap pengurutan, tahap deduksi formal, tahap keakuratan.
Daftar Pustaka
Abdus
Sakir. 2009. Pembelajaran geometrid an teori Van Heille. http://abdussakir.wordpress.com/2009/01/25/pembelajaran-geometri-dan-teori-van-hiele.
Artikel.
Dahar, Ratna Wilis. 2006. Teori
teori belajar dan pembelajaran. Jakarta: Erlangga.
Joyce, Bruce dan
Weil, Marsha. 2011. Models of
teaching;model model pengajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Schunk. 2012. Learning Theories; an educational
perspective. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.