Jumat, Februari 17, 2012

UPAYA GURU DALAM MENGEMBANGKAN PEMAHAMAN KONSEP KEPADA ANAK DIDIK DALAM PEMBAHASAN TRIGONOMETRI


Oleh
Joko Sulianto12)
Abstrak
Concepts are ideas that can be used to categorize or classify objects, whether a particular objects is an example of the concepts or not. At the simplest level we often observe objects with their characteristic. Based on the observation that the similarities can be seen from the object, so we can classify these objects.
Concept math learning can be done by using a deductive approach begins by giving definitions, axioms, and the theorems followed by giving examples. This example can be given by the teacher or found by students. Deductive approach in teaching mathematics is commonly practiced. Learning by using deductive approach have to do fastly so it caan be more efficient. If a math lesson conducted with formal approach, but its implementation is deviate from the formal system, so it use informal approach. In this approach, theorem or formulas of mathematics is given. Then used to solve the problem without degrading or prove prior learning with informal approach can be used to train the students to discover and prove the characteristic or formula.
Key words: concept understanding, deductive and informal approach, inquiry method, and question and answer method.

PENDAHULUAN
Konsep adalah  ide abstrak yang dapat digunakan untuk menggolongkan atau mengklasifikasikan sekumpulan objek, apakah objek tertentu merupakan contoh konsep atau bukan. Pada tingkat sederhana kita sering mengamati benda-benda dengan sifat-sifatnya. Berdasarkan pengamatan  itu dapat dilihat kesamaan-kesamaan dari benda itu, sehingga kita dapat menggolongkan benda-benda tersebut.
Suatu aktivitas sehingga kita sadar akan kesamaan-kesamaan antar pengalaman kita disebut abstraksi. Sementara klasifikasi dapat diartikan pengelompokan pengalaman-pengalaman berdasarkan kesamaannya (Skemp; 1982:22). Dengan demikian suatu konsep dapat terbentuk melalui dua tahap yakni abstraksi dan klasifikasi. Di samping itu dalam penyusunan konsep dapat ditambahkan pula proses idealisasi. Dalam abstraksi yang dilakukan adalah menyadari kesamaan dan menggugurkan sifat lain yang tidak perlu, maka dalam idealisasi yang dilakukan adalah menganggap sempurna, misalnya garis lurus disebut lurus meskipun jika dicermati sebenarnya tidak benar-benar lurus.
Proses abstraksi selalu terkait dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Semakin dekat hubungan antara pengalaman yang lalu dengan pengalaman yang baru maka proses abstraksi semakin mudah terjadi. Prinsip ini dapat diterapkan dalam pembelajaran matematika. Artinya dengan menggunakan apa yang telah ada di benak siswa maka akan semakin mudah siswa membentuk sendiri konsep yang sesuai dengan pemahamannya. Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: ”Bagaimanakah tindakan guru dalam pelaksanaan proses pembelajaran untuk membantu  pemahaman konsep kepada siswa dalam  menyelesaiakan soal matematika?”
KAJIAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN
Kurikulum sebagai salah satu substansi pendidikan perlu didesentralisasikan terutama dalam mengembangkan silabus dan pelaksanaannya yang disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan siswa, keadaan sekolah dan kondisi sekolah atau daerah. Denagn demikian, sekolah atau daerah memiliki cukup kewenangan untuk merancang dan menentukan materi pokok, kegiatan pembelajaran dan penilaian hasil pembelajaran.
Banyak hal yang perlu dipersiapkan oleh daerah yaitu sekolah harus menyusun kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan struktur dan muatan KTSP, kalender pendidikan , dan sialbus dengan cara melakuakan penjabaran dan penyesuaian standar isi yang ditetapkan dengan Permendiknas No 22 Tahun 2006 dan Standar Kompetensi Lulusan yang ditetapkan dengan dengan Kepmendiknas No 23 tahun 2006.
Penyelenggaraan pembelajaran matematika tidaklah mudah karena fakta menunjukan bahwa para siswa mengalami kesulitan dalam mempelajari matematika (Jowarski, 1994). Agar pembelajaran matematika sesuai dengan harapan maka perlu kiranya dibedakan antara matematika dan matematika sekolah. Pandangan tentang hakekat dan karakteristik matematika sekolah akan memberikan karakteristik mata pelajaran matematika secara keseluruhan. Ebbutt dan Straker (1995 : 10 – 63) mendefinisikan matematika sekolah yang selanjutnya disebut sebagai matematika , sbb :
a.       Matematika sebagai penelusuran pola dan hubungan.
b.      Matematika sebagai kreativitas yang memerlukan imajinasi, intuisi dan penemuan.
c.       Matematika sebagai kegiatan pemecahan masalah (problem solving ).
d.      Matematika sebagai alat komunikasi.
Klasifikasi materi pembelajaran matematika menurut Ebbutt dan straker, 1995);
1. Fakta (Facts) Informasi, nama, istilah.
2. Pengertian (Concepts) : Struktur pengertian, peranan struktur pengerkan, operasi dan algoritma dll.
3. Ketrampilan Penalaran : memahami pengertian, berpikir logis, berpikir deduksi.
4. Ketrampilan Algoritma : merancang dan membuat langkah, menggunakan langkah, dll.
5. Ketrampilan menyelesaikan masalah matematika : memahami pokok persoalan, mendiskusikan alternatif pemecahannnya, dll.
6. Ketrampilan melakukan penyelidikan (investigation) : membuat dan menguji hipotesis, mencoba metode alternatif, dll.

PENDEKATAN DEDUKTIF DAN PENDEKATAN INFORMAL.
Penalaran adalah proses berpikir yang dilakukan denagn suatu cara untuk menarik kesimpulan. Penarikan kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat khususdisebut penarikan kesimpulan secara deduktif. Suatu pendekatan pembelajaran menggunakan proses penalaran deduktif disebut pendekatan deduktif. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya menggunakan pola pikir yang disebut silogisme. Penarikan kesimpulan ini didasarkan pada pernyataan-pernyataan pendukung yang disebut premis atau hipotesis.
Bentuk umum, premismayor : p --> q
 premis minor : p --> r
kesimpulan : p --> r
            Pembelajaran konsep matematika denagn menggunakan pendekatan deduktif dimulai denagn memberikan definisi, aksioma, dan teorema-teorema disusul dengan memberikan contoh-contoh. Contoh ini dapat diberikan oleh guru maupun dicari oleh siswa.
Pendekatan deduktif dalam pengajaran matematika sudah biasa dilakukan. Pembelajaran dengan mengunakan deduktifnya. Memerlukan waktu yang sangat cepat sehingga dapat lebih efisien.
            Jika suatu pembelajaran matematika dilakukan denagn pendekatan formal, akan tetapi pelaksanaanya menyimpang dari sistem formal, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan informal. Dalam pendekatan ini , teorema-teorema/ rumus-rumus matematika diberikan. Kemudian digunakan untuk menyelesaikan masalah tanpa menurunkan atau membuktiksn terlebih dahulu pembelajaran dengan pendekatan informal dapat digunakan untuk melatih siswa belajar menemukan dan membuktikan sendiri sifat atau rumus.

METODE METODE INKUIRI DAN METODE TANYA JAWAB
a. Metode Inkuiri
Metode Inkuiri ialah metode mengajar yang paling mirip dengan metode penemuan. Beberapa perbedaannya adalah sebagai berikut :
Mengajar dengan penemuan biasanya dilakukan dengan eksperimen dalam kelompok-kelompok kecil (di Laboratorium, bengkel, atau kelas). Sebenranya mengajar dengan metode inkuiri dapay dilakukan melalui ekspositori, kelompok, dan secara sendiri-sendiri. Dalam metode penemuan hasil akhir yang harus ditemukan siswa merupakan sesuatu yang baru bagi dirinya, namun sudah diketahui oleh guru. Sedangkan dalam inkuiri hal baru itu juga belum diketahui oleh guru. Dalam metode penemuan siswa diharapkan menemukan sesuatu yang penting. Hasilnya adalah nomor dua.
Salah satu tujuan mengajar dengan Inkuiri adalah agar siswa tahu dan mampu mentransfer pengetahuan ke dalam situasi lain. Metode ini terdiri atas 4 tahap.
1. Guru merangsang siswa denagn pertanyaan , masalah, permainan, dan teka-teki.
2. Sebagai jawaban atas rangsangan yang diterimanya, siswa menentukan prosedur mencari dan mengumpulkan informasi atau data yang diperlukannya untuk memecahkan pertanyaan, pernyataan dan masalah.
3. Siswa menghayati pengetahuan yang diperolehnya dengan inkuiri yang baru dilaksanakan.
4. Siswa menganalisis metode inkuiri dan prosedur yang ditemukan untuk dijadikan metode umum yang dapat diterapkannya ke situasi lain.
b. Metode Tanya Jawab
Umumnya pada tiap kegiatan belajar-mengajar selalu ada tanya jawab. Namun, tidak pada setiap kegiatan belajar mengajar dapat disebut menggunakan metode tanya jawab. Misalnya dalam pengajaran dengan metode ekspositori guru mengajukan pertanyaan dan siswa memberikan jawaban. Cara mengajar ini tidak dapat disebut menggunakan metode tanya jawab, walaupun sering terjadi tanya jawab.
Suatu pengajaran disajikan melalui tanya jawab jika bahan pelajaran disajikan melalui tanya jawab. Dengan menggunakan metode ini siswa menjadi lebih aktif daripada belajar mengajar dengan metode ekspositori. Sebab, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru harus mereka jawab. Atau mungkin mereka balik bertanya jika ada sesuatu yang sudah jelas baginya. Meskipun aktivitas siswa makin besar, namun kegiatan materi pengajaran masih ditentukan menurut keinginan guru.
Sebelum pertanyaan-pertanyaan diberikan sebagai pengarahan diperlukan pula cara informatif. Bahan yang diajarkan masih terbatas pada hal-hal yang ditanyakan oleh guru. Inisiatif dimulai dari guru. Sesudah pengarahan, dimulailah dengan pengajuan pertanyaan. Jika pertanyaan telalu sulit, jawaban siswa mungkin hanya ”tidak tahu”, ”tidak dapat”, gelengan kepala, atau diam saja. Kelas diam bisa juga diakibatkan oleh sikap atau tindakan guru yang tidak menyenangkan siswa. Hal ini dapat menjengkelkan guru. Kalau guru marah karena hal tersebut, siswa akan menjadi (lebih) takut untuk menjawab atau bertanya.
Untuk menghindari keadaan semacam itu, agar siswa aktif mengikuti kegiatan belajar mengajar dengan metode tanya jawab, guru hendaknya berlaku sebagai berikut :
1. Menghargai jawaban, pertanyaan, keluhan, atau tindakan siswa bagaimanapun jelek mutunya.
2. Menerima jawaban siswa lalu memeriksanya dengan mengajukan pertanyaan
3. Merangsang siswa untuk aktif berpartisipasi dengan menjawab pertanyaan, mengajukan pertanyaaan, mengemukakkan pendapat, atau mendemonstrasikan hasil berpikirnya didepan kelas atau papan tulis, atau memperlihatkan hasil karyanya.
4. Mengajukan pertanyaan kepada sasaran yang sesuai denagn keperluan. Misalnya, suatu pertanyaan ditujukan kepada seluruh kelas, sebelum ditujukan kepada siswa tertentu. Jika datang pertanyaan dari seorang siswa, pertanyaan tersebut dilemparkan lagi kepada siswa lain atau kelas.
5. Bertindak atau bersikap seolah-olah belum tahu atau membuat kekeliruan yang disengaja. Cara-cara ini dapat meningkatkan aktivitas siswa dan mereka menjadi lebih kritis.
6.  Mengajukan pertanyaan yang tinggi tarafnya.

APLIKASI PEMBELAJARAN
a. Rencana Pelaksanaan Pembaelajaran (RPP)
·         Sekolah                 :
·         Mata Pelajaran      : Matematika
·         Pokok Bahasan     : Trigonometri
·         Kelas / Semester    : XI SMA / Gasal
·         Alokasi waktu       : 2 X 40 menit
·         Standar Kompetensi : Menggunakan sifat aturan trigonometri sperti penggunaan rumus penjumlahan dan pengurangan rums dua sudut, rumus ganda trigonometri, penjumlahan dan pengurangan rumus sinus kosinus, dan perkalian sinus kosinus.
·         Kompetensi Dasar : Melakukan manipulasi matematika dalam menyusun bukti trigonometri..
·         Indikator :
ü  Menurunkan dan menggunakan rumus penjumlahan dan pengurangan  dua sudut,
ü  Menurunkan dan menggunakan rumus ganda trigonometri,
ü  Menurunkan dan menggunakan rumus penjumlahan dan pengurangan rumus sinus kosinus, dan
ü  Menurunkan dan menggunakan rumus perkalian sinus kosinus.
·         Tujuan Pembelajaran :
ü  Siswa dapat menurunkan dan menggunakan rumus penjumlahan dan pengurangan  dua sudut,
ü  Siswa dapat menurunkan dan menggunakan rumus ganda trigonometri,
ü  Siswa dapat menurunkan dan menggunakan rumus penjumlahan dan pengurangan rumus sinus kosinus, dan
ü  Siswa dapat menurunkan dan menggunakan rumus perkalian sinus kosinus.
·         Materi  Pokok : Aturan rumus penjumlahan dan pengurangan rumus dua sudut, rumus ganda trigonometri, penjumlahan dan pengurangan rumus sinus kosinus, dan perkalian sinus kosinus.
·         Obyek Pembelajaran : Konsep dan Skill
·         Metode dan Pendekatan Pembelajaran :
1.      Metode Pembelajaran                         : Metode Inkuiri dan Tanya Jawab
2.      Pendekatan Pembelajaran       : Pendekatan Deduktif
·         Kegiatan Pembelajaran, meliputi :
1.      Kegiatan Awal :
ü  Mengucapkan salam kepada siswa
ü  Mengisi daftar hadir
ü  Menyiapkan buku sumber materi yang akan digunakan
  1. Kegiatan Inti :
ü  Guru menjelaskan materi rumus trigonometri penjumlahan dan pengurangan dua sudut.
ü  Guru memberikan contoh soal dari materi yang sudah dijelaskan.
ü  Guru memancing siswa untuk saling bertanya jawab.
ü  Guru membuat beberapa pertanyaan-pertanyaan yang akan dijawab siswa..
ü  Siswa tersebut diminta menyelesaikan contoh soal yang telah diberikan oleh guru.
ü  Siswa melempar pertanyaan yang dibuat guru kepada siswa lain jika siswa sebelumnya berhasil menyelesaikan soal.
ü  Guru mengawasi dan mengatur suasana kelas tetap menjadi lebih efisien dan efektif.
  1. Kegiatan Akhir :
ü  Siswa dan guru melakukan refleksi.
ü  Guru menutup dengan salam dan terima kasih.

SIMPULAN
Materi pembelajaran jenis konsep  adalah materi berupa definisi atau pengertian. Tujuan mempelajari konsep adalah agar peserta didik paham, dapat menunjukkan ciri-ciri, unsur, membedakan, membandingkan, menggeneralisasi, dsb.

Langkah-langkah mengajarkan atau menyampaikan materi pembelajaran jenis  ”Konsep”:
  1. Sajikan Konsep
  2. Berikan bantuan (berupa inti isi, ciri-ciri pokok, contoh dan bukan contoh)
  3. Berikan soal-soal latihan dan tugas
  4. Berikan umpanbalik
  5. Berikan tes.

Daftar Pustaka
Erman, Suherman. 2003. Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: UPI Press.
Hudoyo, Herman, 1996. Strategi Belajar Mengajar  Matematika. Malang: IKIP Malang Press.
Tim. 2011. Malih Peddas (Majalah Ilmiah Pendidikan Dasar). Semarang: IKIP Semarang Press.

Keefektifan Model Pembelajaran Kontekstual dengan pendekatan open ended dalam aspek penalaran dan pemecahan masalah pada materi segitiga di kelas VII.

Joko Sulianto email: jokocakep@yahoo.com Abstrak The Education Unit Level Curriculum states that problem solving, reasoning is the goal of learning mathematics elementary, junior high school and vocational school in addition to goals related to understanding the concept, this is contrary to the conditions of teachers who assume that the final answer to these problems is the main goal in learning , the procedure less students in solving the problems noted by teachers as too oriented to the truth of the final answer. Such conditions require the learning of mathematics with emphasis on problem-solving process. This study is an experimental study to analyze the effectiveness of contextual learning with open-ended approach in reasoning and problem-solving aspect of the triangle of material in class VII. Issues that were examined: 1) Do students who get contextual learning with open-ended approach can achieve exhaustiveness learn?, 2) Does problem-solving skills of students who get contextual learning with open-ended approach is better than in students with learning expository method?, 3) Is the reasoning that students can reach the criterion was after getting contextual learning with open-ended approach?. The study population was all students in grade VII Kesatrian SMP 2 Semarang. The sample study was graders VIIa as an experimental class and grade students VIIE as a control class. The variables studied are the reasoning and problem-solving. Data obtained from the documentation, testing and observation. The data obtained were analyzed using average test, correlation, analysis dwifaktor, and t-test. Results showed that students can achieve exhaustiveness study with an average of 73.31, t value = 3.137 with p value = 0.003 <0.05 means that student learning outcomes are significantly> 65. Reasoning students showed 33.33% of students have demonstrated high reasoning, 38.88% students have a reasoning being, and 27% of students have low reasoning sig later than table value 0.000 <0.05 with a mean value of r = 0.745 reasoning and problem solving has ties are very strong at 74.5%. Problem-solving abilities of students with contextual learning and open ended approach is different from expository teaching classes, based on the t test with a test value 0.030 p value <0.05. Average problem solving abilities of students reached 73.3 while the control class 65, 83 meaning that the average problem solving abilities of students in a class of contextual learning with open-ended approach is better. Then seen from the test value v dwifaktor test value 0.178 means not different problem-solving skills of students seen from the top, the middle and bottom groups. Concluded that the contextual learning with open-ended approach in reasoning and problem-solving aspect of the triangle of material in class VII learn effectively and achieve completeness. Keywords: Effectiveness, contextual learning, open ended, reasoning, problem-solving. 1. Latar Belakang Masalah Penyempurnaan kurikulum harus selalu dilakukan pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan. Diantara hasil terbaru penyempurnaan tersebut adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Salah satu kelebihan dari kurikulum terbaru ini adalah dinyatakannya pemecahan masalah (problem-solving), penalaran (reasoning), komunikasi (communication), dan menghargai kegunaan matematika sebagai tujuan pembelajaran matematika SD, SMP, SMA, dan SMK di samping tujuan yang berkait dengan pemahaman konsep yang sudah dikenal guru seperti: bilangan, perbandingan, sudut, dan segitiga. Pertanyaan yang mungkin muncul dari para guru matematika adalah, mengapa penalaran itu begitu penting sehingga menjadi salah satu kompetensi dasar. Pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum matematika yang sangat penting karena dalam proses pembelajaran maupun penyelesaian, siswa dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta ketrampilan yang sudah dimiliki. Melalui kegiatan ini aspek-aspek kemampuan matematika dapat dikembangkan secara lebih baik. Berdasarkan teori belajar yang dikemukakan gagne bahwa ketrampilan intelektual tingkat tinggi dapat dikembangkan melalui pemecahan masalah (Robert, 2002: 258). Penalaran matematika (mathematical reasoning) diperlukan untuk menentukan apakah sebuah argumen matematika benar atau salah dan juga dipakai untuk membangun suatu argumen matematika. Penalaran matematika tidak hanya penting untuk melakukan pembuktian (proof) atau pemeriksaan program (program verification), tetapi juga untuk melakukan inferensi dalam suatu sistem kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Ketrampilan penalaran, meliputi memahami pengertian, berfikir logis, memahami contoh negatif, berpikir deduktif, berpikir sistematis, berpikir konsisten, menarik kesimpulan, menentukan metode, membuat alasan, dan menentukan strategi. Mengajarkan matematika tidaklah mudah karena fakta menunjukkan bahwa para siswa mengalami kesulitan dalam mempelajari matematika. Tidak sedikit guru matematika yang kesulitan dalam mengajarkan kepada siswanya bagaimana menyelesaikan problem matematika. Kesulitan itu lebih disebabkan suatu pandangan yang mengatakan bahwa jawaban akhir dari permasalahan merupakan tujuan utama dari pembelajaran. Prosedur siswa dalam menyelesaikan permasalahan kurang, bahkan tidak diperhatikan oleh guru karena terlalu berorientasi pada kebenaran jawaban akhir. Padahal dalam pembelajaran pemecahan masalah proses penyelesaian suatu problem yang dikemukakan siswa merupakan tujuan utama dalam pembelajaran matematika (Suherman, 2003: 123). Belajar matematika dari sumber guru merupakan hal yang banyak dilakukan selama ini, guru masih mendominasi pola interaksi edukatif dalam proses pembelajaran. Guru masih menjadi satu-satunya sumber belajar bagi siswa. Kesenjangan ini juga terjadi di SMP Kesatrian 2 Semarang pandangan guru lebih berorientasi pada kebenaran jawaban akhir sehingga proses bernalar siswa kurang diperhatikan, prosedur penyelesaian yang merupakan tujuan utama pembelajaran belum tersentuh dengan baik, pembelajaran masih didominasi dengan metode ekspositori. Dilihat dari kemampuan siswa di SMP Kesatrian 2 rata-rata kemampuan rendah sehingga kemampuan penalaran rendah, sehingga jika siswa dapat mencapai batas kriteria penalaran sedang sudah sangat baik. Kemudian pada materi segitiga merupakan materi dengan variasi soal pemecahan masalah yang beragam dan kompleks sehingga banyak siswa yang mengalami kesulitan, untuk itulah materi segitiga dipilih dalam penelitian ini. Pendidikan matematika berbasis kompetensi menekankan pada pengembangan pengalaman belajar tangan pertama, Contextual Teaching and Learning (CTL), meaningful teching, dengan memperhatikan kecakapan hidup (life skill) baik berupa generik skill (kecakapan personal, kecakapan sosial) maupun spesific skill (kecakapan akademik, dan kecakapan ketrampilan). Usaha mengatasi berbagai problematika pembelajaran matematika berujung pada munculnya inovasi–inovasi dalam pembelajaran matematika. Inovasi pembelajaran matematika yang paling menonjol adalah rekonstruksi pemahaman matematika (mathematical meaning reconstruction) melalui berbagai model pembelajaran dan sistem penilaian. Kecenderungan pembelajaran yang dikembangkan saat ini secara formal mengikuti rekomendasi dari NCTM (National Council of Teacher of Mathematics). Menurut Talbert ( 1999: 1) Pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Pembelajaran kontektual (Contextual Teaching and learning) melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan penilaian yang sebenarnya (Authentic Assesment). Dengan melihat komponen–komponen CTL dan memandang ketrampilan siswa yang akan diperoleh kita dapat membuat inovasi-inovasi baru dengan mengembangkan pembelajaran dengan CTL dengan pendekatan Open ended. Open ended adalah problem yang diformulasikan memiliki multijawaban yang benar disebut problem tak lengkap (Suherman, 2003: 112). Pembelajaran dengan pendekatan open ended biasanya dimulai dengan memberikan problem terbuka kepada siswa. Kegiatan pembelajaran harus membawa siswa dalam menjawab permasalahan dengan banyak cara dan mungkin juga banyak jawaban (yang Benar) sehingga mengundang potensi intelektual dan pengalaman siswa dalam proses menemukan sesuatu yang baru. Dalam pembelajaran matematika, rangkaian dari pengetahuan, ketrampilan, konsep, prinsip, atau aturan diberikan kepada siswa biasanya melalui langkah demi langkah ( Shimada, 1997: 56). Tujuan pembelajaran Open ended menurut (Tim MKPBM, 2001: 114) adalah untuk membantu mengembangkan kegiatan kreatif dan pola pikir matematis siswa melalui problem solving secara simultan. Pendekatan Open ended memberikan kesempatan kepada siswa untuk menginvestigasi berbagai strategi dan cara yang diyakininya sesuai dengan kemampuan mengelaborasi permasalahan. Tujuannya adalah agar kemampuan berpikir matematika siswa dapat berkembang secara maksimal dan pada saat yang sama kegiatan–kegiatan kreatif dari setiap siswa terkomunikasikan melalui proses belajar mengajar. Menurut Kusmaryono dalam tesisnya, bahwa pembelajaran kontekstual dengan strategi penemuan dapat meningkatkan aktivitas dan motivasi siswa dalam pembelajaran yang didukung dengan penggunaan CD pembelajaran dan audio visual sehingga pada akhirnya tujuan pembelajaran dapat tercapai. Menurut Hidayatul dalam penelitiannya terungkap bahwa pembelajaran dengan pendekatan open ended dapat meningkatkan ketrampilan memecahkan masalah siswa pada materi persamaan linear dua variabel yang hakekatnya juga akan meningkatkan kemampuan kognitif siswa. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan, permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini untuk menganalisis keefektifan pembelajaran kontekstual dengan pendekatan open ended dalam aspek penalaran dan pemecahan masalah pada materi segitiga di kelas VII. Permasalahan yang dikaji sebagai berikut: Apakah siswa yang mendapatkan pembelajaran kontekstual dengan pendekatan open ended dapat mencapai ketuntasan belajar? Apakah kemampuan memecahkan masalah siswa yang mendapatkan pembelajaran kontekstual dengan pendekatan open ended lebih baik daripada siswa dengan pembelajaran metode ekspositori pada materi segitiga? Apakah penalaran siswa dapat mencapai kriteria sedang setelah mendapat pembelajaran kontekstual dengan pendekatan open ended? 3. Landasan Teori Hakekat Pembelajaran Menurut Teori Konstruktivisme Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai kehendak guru. Sehubungan dengan hal diatas, (Cobb, 2001: 6) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut: pertama, adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua, adalah pentingnya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga, adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima. Teori konstruktivisme menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik (Hudoyo, 1990: 4) mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Pembentukan Pengetahuan Menurut Teori Konstruktivisme Pembentukan pengetahuan menurut teori konstruktivisme memandang subyek aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi pengetahuan dan pengalamansiswa (Piaget, 1997: 60). Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran siswalah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukannya guru atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa (Hamzah, 2001: 10). Belajar lebih diarahkan pada experiental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sejawat, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pebelajar. Belajar seperti ini selain berkenaan dengan hasilnya (outcome) juga memperhatikan prosesnya dalam konteks tertentu. Pengetahuan yang ditransformasikan diciptakan dan dirumuskan kembali (created and recreated), bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Bentuknya bisa objektif maupun subjektif, berorientasi pada penggunaan fungsi konvergen dan divergen otak manusia (Semiawan dalam Hamzah, 2001: 6 ). Siswa akan menjadi orang yang kritis menganalisis sesuatu hal karena mereka berpikir bukan meniru. Konstruktivisme sebagai aliran psikologi kognitif menyatakan manusialah yang membangun makna terhadap suatu realita. Implikasinya dalam belajar dan mengajar, bahwa pengetahuan tidak dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa. Siswa sendirilah yang aktif secara mental dalam membangun pengetahuannya (Hamzah, 2001: 21-22). Pengetahuan dalam pengertian konstruktivisme tidak dibatasi pada pengetahuan yang logis dan tinggi. Pengetahuan di sini juga dapat mengacu pada pembentukan gagasan, gambaran, pandangan akan sesuatu atau gejala sederhana. Dalam konstruktivisme, pengalaman dan lingkungan kadang punya arti lain dengan arti sehari-hari. Pengalaman tidak harus selalu pengalaman fisis seseorang seperti melihat, merasakan dengan indranya, tetapi dapat pula pengalaman mental yaitu berinteraksi secara pikiran dengan suatu obyek (Hamzah, 2001: 80). Dalam konstruktivisme kita sendiri yang aktif dalam mengembangkan pengetahuan. Pemerolehan ini dilakukan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan, menggali dan menilai sendiri apa yang kita ketahui (Anonim, 2002: 1) Proses pembelajaran yang terjadi menurut pandangan konstruktivisme menekankan pada kualitas keaktifan siswa dalam menginterprestasikan dan membangun pengetahuannya. Setiap organisme menyusun pengalamannya dengan jalan menciptakan struktur mental dan menerapkannya dalam pembelajaran. Suatu proses aktif dimana organisme atau individu berinteraksi dengan lingkunganya dan mentranformasikannya ke dalam pikirannya dengan bantuan struktur kognitif yang telah ada dalam pikirannya, dengan demikian siswa membangun pengetahuan dari pengetahuan yang telah dimiliki (Cobb , 2000: 15). Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan pembelajaran konstruktivis, yaitu: (1) mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam konteks yang relevan, (2) mengutamakan proses, (3) menanamkan pembelajaran dalam konteks pengalaman sosial, (4) Pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman (Cobb, 2000: 5). Dalam perkembangan intelektual ada tiga hal penting yang menjadi perhatian Piaget yaitu struktur, isi dan fungsi (Piaget, 1997: 8). a. Struktur, Piaget memandang ada hubungan fungsional antara tindakan fisik, tindakan mental dan perkembangan logis anak-anak. Tindakan (action) menuju pada operasi-operasi dan operasi-operasi menuju pada perkembangan struktur-struktur. Operasi memiliki empat ciri yaitu: (1) operasi merupakan tindakan yang terinternalisasi. Tidak ada garis pemisah antara tindakan fisik dan mental, (2) operasi itu bersifat reversible, artinya operasi bersifat tetap (3) operasi selalu tetap walaupun terjadi transformasi atau perubahan, (4) tidak ada operasi yang berdiri sendiri. Operasi selalu berhubungan dengan struktur atau sekumpulan operasi. b. Isi, merupakan pola perilaku anak yang khusus yang tercermin pada respon yang diberikan anak terhadap berbagai masalah atau situasi yang dihadapinya. c. Fungsi, adalah cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan intelektual. Piaget dalam teorinya menyatakan bahwa perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi yaitu organisasi dan adaptasi. (1) Organisasi memberikan pada organisme kemampuan untuk mengestimasikan atau mengorganisasi proses-proses fisik atau psikologis menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan. (2) Adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru pengertian orang itu berkembang (Depdiknas, 2002: 11). Akomodasi dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi tejadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidakseimbangan (disequilibrium). Akibat ketidakseimbangan itu maka terjadilah akomodasi dan struktur kognitif yang ada akan mengalami perubahan atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidakseimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya (Depdiknas, 2002: 14). Hakekat Pembelajaran Kontekstual Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat jangka pendek tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Dan itulah yang terjadi di kelas-kelas sekolah (Depdiknas, 2002: 1). Pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Dalam konteks itu, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana mencapainya. Mereka sadar bahwa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya nanti. Mereka mempelajari apa yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya menggapainya. Dalam upaya itu, mereka memerlukan guru sebagai pengarah dan pembimbing (Depdiknas, 2002: 2). Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi dari pada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru (pengetahuan dan keterampilan) datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pembelajaran kontekstual. Ada lima elemen yang harus diperhatikan dalam praktek pembelajaran kontektual: 1) Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge) artinya apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki keterkaitan satu sama lain, 2) Pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge) dengan cara mempelajari secara keseluruhan dulu, kemudian memperhatikan detailnya, 3) Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge) artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal tetapi untuk dipahami dan diyakini, misalanya dengan cara meminta tanggapan yang lain tentang pengetahuan yang diperolehnya dan berdasarkan tanggapan tersebut baru pengetahuan dikembangkan 4) Mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applaying knowledge) artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan perilaku siswa, 5) Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut. (Sanjaya, 2008: 256). Pendekatan Open Ended Problem yang diformulasikan memiliki multijawaban yang benar disebut problem tak lengkap disebut juga problem Open ended atau problem terbuka (Akihiko, 2005: 4). Pembelajaran dengan pendekatan open ended biasanya dimulai dengan memberikan problem terbuka kepada siswa. Kegiatan pembelajaran harus membawa siswa dalam menjawab permasalahan dengan banyak cara dan mungkin juga banyak jawaban (yang Benar) sehingga mengundang potensi intelektual dan pengalaman siswa dalam proses menemukan sesuatu yang baru. Menurut Tim MKPBM (2001: 114) dalam pembelajaran matematika, rangkaian dari pengetahuan, ketrampilan, konsep, prinsip, atau aturan diberikan kepada siswa biasanya melalui langkah demi langkah. Tujuan dari pembelajaran Open ended adalah untuk membantu mengembangkan kegiatan kreatif dan pola pikir matematis siswa melalui problem solving secara simultan. Pendekatan Open ended menjajikan suatu kesempatan kepada siswa untuk menginvestigasi berbagai strategi dan cara yang diyakininya sesuai dengan kemampuan mengelaborasi permasalahan. Tujuannya tiada lain adalah agar kemampuan berpikir matematika siswa dapat berkembang secara maksimal dan pada saat yang sama kegiatan–kegiatan kreatif dan setiap siswa terkomunikasikan melalui proses belajar mengajar. Inilah yang menjadi pokok pembelajaran Open ended, yaitu pembelajaran yang membangun kegiatan interaktif antara matematika dan siswa sehingga mengundang siswa untuk menyelesaikan permasalahan melalui berbagai strategi. Perlu digaris bawahi bahwa kegiatan matematik dan kegiatan siswa disebut terbuka jika memenuhi ketiga aspek berikut: Kegiatan siswa harus terbuka Yang dimaksud kegiatan siswa harus terbuka adalah kegiatan pembelajaran harus mengakomodasi kesempatan siswa untuk melakukan segala sesuatu secara bebas sesuai dengan kehendak mereka. Dari kegiatannya ini siswa dipandu untuk mengkonstruksi permasalahannya sendiri (Suherman, 2003: 125). Kegiatan matematik merupakan ragam berpikir Kegiatan matematika adalah kegiatan yang didalamnya terjadi proses pengabstraksian dan pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari kedalam dunia matematika atau sebaliknya. Pada dasarnya kegiatan matematik akan mengundang proses manipulasi dan manifestasi dalam dunia matematika (Suherman, 2003: 126). Kegiatan siswa dan kegiatan matematik merupakan satu kesatuan Dalam pembelajaran matematika, guru diharapkan dapat mengangkat pemahaman siswa bagaimana memecahkan permasalahan dan perluasan serta pendalaman dalam berpikir matematik sesuai dengan kemampuan individu. Pada dasarnya, pendekatan open–ended bertujuan untuk mengangkat kegiatan kretif siswa dan berpikir matematik secara simultan (Tim MKPBM, 2001: 126). Orientasi pendekatan open ended dalam pembelajaran matematika Apabila kita telah memformulasi problem mengikuti kriteria yang telah dikemukakan langkah selanjutnya adalah mengembangkan rencana pembelajaran yang baik pada tahap ini yang diperhatikan adalah sebagai berikut Tuliskan respon siswa yang diharapkan Siswa diharapkan merespon problem open-ended dengan berbagai cara. Oleh karena itu guru harus menuliskan daftar antisipasi respon siswa terhadap problem, karena kemampuan siswa dalam mengekspresikan ide atau pikirannya terbatas, mungkin mereka tidak akan mampu menjelaskan aktivitas mereka dalam memecahkan problem, namun mungkin juga mereka mampu menjelaskan ide–ide matematika secara berbeda (Suherman, 2003: 131). Tujuan dari problem itu diberikan harus jelas Guru memehami problem itu dalam keseluruhan rencana pembelajaran, problem dapat diperlakukan sebagai topik yang independen. Sajikan problem semenarik mungkin Konteks permasalahan yang diberikan harus dikenal baik oleh siswa dan harus membangkitkan semangat intelektual. Karena problem open-ended memerlukan waktu untuk berpikir dan mempertimbangkan. Lengkapi Prinsip posing problem Problem harus diekspresikan sedemikian sehingga siswa dapat memahaminya dengan mudah dan menemukan pendekatan pemecahannya. Berikan waktu yang cukup kepada siswa untuk mengeksplorasi problem Berdiskusi secara aktif diantara siswa dan antara siswa dengan guru merupakan ineraksi yang sangat penting dalam pembelajaran open ended (Suherman, 2003: 132). Penalaran dalam Pembelajaran Matematika Selama mempelajari matematika dikelas, aplikasi penalaran sering ditemukan meskipun tidak secara formal disebut sebagai belajar bernalar. Sebagai contoh jika besar dua sudut pada suatu segitiga adalah 60o dan 100o maka sudut yang ketiga adalah 180o – (100o + 60o) = 20o. Hal ini didasarkan pada teorema matematika yang menyatakan bahwa besar sudut – sudut suatu segitiga adalah 180o. Sejalan dengan contoh tersebut, dimana telah terjadi proses penarikan kesimpulan dari bebrapa fakta yang telah diketahui siswa, maka istilah penalaran (jalan pikiran atau reasoning) dijelaskan sebagai proses berpikir yang berusaha menghubung–hubungkan fakta–fakta, konsep, definisi yang diketahui menuju kepada suatu kesimpulan. Pada intinya, penalaran merupakan suatu kegiatan, suatu proses atau aktivitas berpikir untuk menarik kesimpulan atau membuat suatu pernyataan yang kebenarannya yang telah dibuktikan atau diasumsikan sebelummya (Shadiq, 2004: 4) menyatakan bahwa materi matematika dan penalaran matematika merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, yaitu materi matematika dipahami melalui penalaran dan penalaran dipahami dan dilatihkan melalui belajar matematika. Pola pikir yang dikembangkan matematika seperti yang dijelaskan diatas memang membutuhkan dan melibatkan pemikiran kritis, sistematis, logis, dan kreatif. Kemampuan bernalar tidak hanya dibutuhkan para siswa ketika belajar matematika maupun pelajaran lainnya, namun sangat dibutuhkan setiap manusia disaat memecahkan masalah ataupun disaat menentukan keputusan (Shadiq, 2004: 3). Matematika sekolah yang selanjutnya disebut matematika salah satunya sebagai berikut matematika sebagai alat komunikasi, sebagai implikasi pandangan ini pembelajaran harus dapat mendorong siswa mengenal sifat matematika, mendorong siswa membuat contoh sifat matematika, mendorong siswa menjelaskan sifat matematika, mendorong siswa memberikan alasan perlunya kegiatan matematika, mendorong siswa membicarakan matematika, mendorong siswa menulis dan membaca matematika dengan menyelenggarakan pembelajaran yang demikian keterampilan penalaran yang meliputi: memahami pengertian, berfikir logis, memahami contoh negatif, berpikir deduksi, berpikir sistematis, berpikir konsisten, menarik kesimpulan, menentukan metode, membuat alasan dan menentukan strategi dapat dicapai siswa ( Pujiastuti, 2008: 3) Pemecahan Masalah Menurut Shadiq (2008: 10) Suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pernyataan itu menunjukkan adanya tantangan (challenge) yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur rutin yang sudah diketahui pelaku, maka untuk menyelesaikan suatu masalah diperlukan waktu yang relatif lebih lama dari pada proses pemecahan soal rutin biasa. Untuk dapat memecahkan masalah, ada empat langkah penting yang harus diselesaikan: Memahami masalahnya Pada langkah ini, para siswa harus dapat menentukan dengan jeli apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan. Namun yang perlu diingat, kemampuan otak manusia sangatlah terbatas, sehingga hal–hal penting hendaknya dicatat, dibuat tabelnya, ataupun dibuat grafik atau sket. Tabel atau gambar ini dimaksudkan untuk mempermudah memahami masalahnya dan mendapatkan gambaran umum penyelesaiannya. Dengan membuat gambar, diagram atau tabel, hal hal yang diketahui tidak hanya dibayangkan didalam otak yang sangat terbatas kemampuannya, namun dapat dituangkan diatas kertas (Shadiq, 2008: 11). Merencanakan cara penyelesaiannya Untuk memecahkan masalah apa yang harus dilakukan? apakah akan melakukan dengan mencoba–coba? namun bagaimana jika ada kombinasi bilangan yang terlewati? untuk menghindari hal tersebut, diperlukan adanya aturan–aturan yang dibuat sendiri oleh para pelaku selama proses pemecahan masalah berlangsung sehingga dapat dipastikan tidak ada satupun alternatif yang terabaikan (Shadiq, 2004: 11). Melaksanakan rencana Artinya setiap langkah yang telah kita rencanakan dilaksankan pada bagian ini sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Menafsirkan Hasilnya Langkah melihat kembali untuk melihat apakah penyelesaian yang kita peroleh sudah sesuai dengan ketentuan yang diketahui dan tidak terjadi kontradiksi merupakan langkah terakhir yang penting (Hudoyo, 2001: 169). 4. Metode Penelitian Analisis Data 3.1.1.1.1.1.1 Uji Normalitas data Untuk menguji kenormalan data menggunakan Kolmogorov Smirnov, apabila nilai signifikansi > 0,05 dapat disimpulkan bahwa data berdistribusi normal. 3.1.1.1.1.1.2 Uji Ketuntasan Belajar Untuk mengetahuai apakah pembelajaran kontekstual dengan pendekatan open ended pada materi segitiga dapat membantu siswa mencapai ketuntasan belajar, digunakan analisis one way sample t tets. Untuk menguji hipotesis digunakan uji one sample t-test sebagai berikut: Dengan: = rataan sampel = rata-rata minimal sampel s = simpangan baku n = banyaknya sampel Kreteria pengujian di dapat dari daftar distribusi Student t dengan dk = (n-1) dan peluang (1- ). Tolak Ho jika t t1-α dan terima Ho dalam hal lainnya. 3.1.1.1.1.1.3 Uji Penalaran Siswa Untuk menganalisis persentase penalaran siswa pada penelitian ini, terutama pada kasus yang diutarakan digunakan rumus sebagai berikut: P = x 100 Keterangan P = Penalaran siswa Sebagai penafsiran dari kemampuan penalaran siswa dengan menggunakan kriteria sebagai berikut: P 30 dapat ditafsirkan bahwa penalaran siswa sangat rendah 30 < P 55 dapat ditafsirkan bahwa penalaran siswa rendah 55 < P 75 dapat ditafsirkan bahwa penalaran siswa normal/sedang 75 < P 90 dapat ditafsirkan bahwa penalaran siswa tinggi P > 90 dapat ditafsirkan bahwa penalaran siswa sangat tinggi. Kemudian untuk mengetahui seberapa kuat hubungan antara variabel penalaran terhadap variabel kemampuan memecahkan masalah, untuk menerima atau menolak Ho dikonsultasikan dengan tabel diuji validitas internalnya dengan menggunakan rumus Pearson Product Moment sebagai berikut. Ho : r = 0 korelasi antara Penalaran dan Kemampuan memecahkan masalah rendah H1 : r 0 korelasi antara Penalaran dan Kemampuan memecahkan masalah tinggi. (Arikunto, 1998: 162) Selanjutnya hasil perhitungan dikonsultasikan dengan harga rtabel. Uji Kemampuan Memecahkan Masalah Untuk menganalisis kemampuan memecahkan masalah secara berkelompok pada penelitian ini, terutama pada kasus yang diutarakan digunakan Analisis dwifaktor (two way analysis). Uji anova dua jalur terjadi apabila pembagian pada kolom juga pada baris, pada penelitian ini kelas dibagi kelas eksperimen dan kelas kontrol kemudian pada kelompok dibagi kelompok atas, kelompok tengah, kelompok bawah. Untuk kasus ini akan diuji kesamaan kolom Ho : a1 = a2 vs H1 : paling sedikit salah satu tidak sama. Pengujian kesamaan baris Ho : b1 = b2 = b3 vs H1 : paling sedikit salah satu tidak sama. Pengujian interaksi baris dan kolom Ho : ab1 = ab 2 vs H1 : paling sedikit salah satu tidak sama. Uji Perbedaan Kemampuan Memecahkan Masalah kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Uji Hipotesa Ho : = Ha : Untuk melihat apakah kemampuan memecahkan masalah kelas eksperimen lebih baik dari kelas kontrol maka digunakan uji statistik t test dengan rumus sebagai berikut: Dimana: Keterangan: S2 : varians gabungan. S12 : varians kemampuan memecahkan masalah siswa yang mendapat pembelajaran CTL dengan pendekatan open-ended. S22 : varians kemampuan memecahkan masalah siswa yang mendapat pembelajaran ekspositori. n1 : banyaknya kemampuan memecahkan masalah siswa yang mendapat pembelajaran CTL dengan pendekatan open–ended. n2 : banyaknya kemampuan memecahkan masalah siswa yang mendapat pembelajaran ekspositori. : kemampuan memecahkan masalah siswa yang mendapat pembelajaran CTL dengan pendekatan open-ended. : kemampuan memecahkan masalah siswa yang mendapat pembelajaran ekspositori. S : simpangan baku gabungan. Statistik uji t ini berdistribusi student dengan derajat kebenaran n1 + n2 – 2. Kriteria pengujian adalah terima Ho jika diperoleh t hitung > t(1-α) dan tolak Ho jika t < -t(1-α) dengan mengambil taraf nyata α = 5% (Sudjana, 2002: 239). 5. Hasil dan Pembahasan Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa pada kelas pembelajaran kontekstual dengan pendekatan open ended dapat mencapai ketuntasan belajar dengan nilai rata-rata 73,31 dengan nilai sig = 0,003 < 0,005, artinya secara signifikan siswa dapat mencapai batas KKM yang ditentukan disekolah. Pada aspek penalaran yang ditunjukkan bahwa siswa dengan penalaran tinggi mencapai 33,33%, siswa dengan penalaran sedang mencapai 38,88%, dan 27,77 siswa pada penalaran rendah hal ini dapat kita simpulkan bahwa 70% lebih siswa memenuhi kriteria. Kemudian setelah dilakukan uji Korelasi menunjukkan nilai r= 0,745 artinya bahwa penalaran dan kemampuan memiliki hubungan yang tidak kecil sebesar 74,5%. Pada aspek pemecahan masalah dapat dilihat ada perbedaan rata-rata kemampuan memecahkan masalah antara siswa yang mengikuti pembelajaran kontekstual dengan pendekatan open ended (eksperimen) dengan rata-rata kemampuan memecahkan masalah siswa dengan pembelajaran ekspositori (kontrol). Hal ini ditunjukkan dari hasil uji t sebesar 2,219 dengan nilai p value = 0,030 < 0,05. Berdasarkan data diperoleh rata-rata kemampuan memecahkan masalah siswa pada kelompok eksperimen sebesar 73,30 sedangkan pada kelompok kontrol sebesar 65,83. Dari data tersebut menunjukkan bahwa dengan model pembelajaran kontekstual dengan pendekatan open ended lebih baik daripada pembelajaran dengan metode ekspositori. dapat dilihat bahwa kemampuan memecahkan masalah siswa pada kelompok siswa tidak berbeda, yaitu pada kelompok atas, sedang, dan bawah ditunjukkan pada nilai sig 0,178 > 0,05, rata-rata kemampuan memecahkan masalah siswa kelas kontrol lebih baik dari kelas eksperimen tetapi pada kelompok sedang dan bawah kelas eksperimen lebih baik artinya bahwa pembelajaran kontekstual dengan pendekatan open ended baik digunakan untuk kelompok sedang dan rendah pada meteri segitiga. Hal ini sesuai dengan hakekat pembelajaran menurut Darsono (2001: 24) yang menyatakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru sehingga terjadi perubahan tingkah laku siswa ke arah yang lebih baik. Perubahan hasil belajar merupakan salah satu indikator perubahan tingkah laku siswa. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan pendapat Dimyati (1994: 17) yang menyatakan bahwa pembelajaran sebagai proses yang diselenggarakan oleh guru untuk membelajarkan siswa dalam belajar, bagaimana belajar memperoleh dan memproses pengetahuan, keterampilan dan sikap. Salah satu indikator diperolehnya pengetahuan terjadinya peningkatan hasil belajar kognitif siswa. Peningkatan hasil belajar siswa pada kelompok eksperimen ini ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Melalui pengamatan dilanjutkan dengan diskusi, secara langsung mampu mengembangkan kemampuan beragumentasi siswa dan saling bekerja sama antar siswa. Dengan adanya sistem diskusi maka akan terbetuk masyarakat belajar yang memungkinkan siswa saling membantu, bagi siswa yang merasa mampu akan memberikan masukan yang berarti bagi teman kelompoknya pada saat melakukan diskusi maupun mengemukakan pendapat. Kondisi ini dapat berdampak positif terhadap hasil belajar siswa, sebab siswa akan merasa nyaman mendapat bantuan dari teman lainnya daripada oleh gurunya. Keberhasilan yang dicapai juga tercipta karena hubungan antarpersonil yang saling mendukung, saling membantu dan peduli. Pembelajaran kontekstual dengan pendekatan open ended ini memberikan kontribusi kemampuan memecahkan masalah yang lebih baik sebab dalam anggota kelompok tersebut terjadi diskusi sehingga terjadi interaksi tatap muka dan keterampilan dalam menjalin hubungan interpersonal. Pada model ini siswa akan berkembang kemampuan kognitif maupun kemampuan verbalnya. Kemampuan kognitif dapat berkembang karena ada tuntutan untuk menyelesaikan masalah, dan dengan memberikan informasi kepada sesama anggota dan kelompok lain pada saat diskusi dalam satu kelas sehingga akan mengembangkan kemampuan bicara (verbal). Pembelajaran kontekstual dengan pendekatan open ended melatih siswa bertanggung jawab untuk menyelesaikan tugasnya masing-masing dan dapat mengembangkan keterampilan memecahkan masalah sehingga siswa dapat mengembangkan penalarannya dengan baik. Pembelajaran kontekstual dengan pendekatan open ended memberikan kesempatan kepada siswa mengembangkan kegiatan kreatif dan pola pikir matematis siswa melalui pemecahan masalah secara simultan. Pembelajaran ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk menginvestigasi berbagai strategi dan cara yang diyakininya sesuai dengan kemampuan memecahkan masalah. Dengan kegiatan ini kemampuan berpikir matematika siswa dapat berkembang secara maksimal. Pembelajaran pada kelompok eksperimen secara nyata lebih baik daripada kelompok kontrol karena penalaran matematika yang baik siswa pada kelompok eksperimen, berbeda dengan kelompok kontrol lebih menekankan pada indera penglihatan dan pendengarannya, penalaran siswa belum begitu baik karena masih sebatas menghafal . Kondisi ini apabila dilakukan secara terus menerus akan menyebabkan kebosanan pada siswa, sehingga hasil belajar yang diperoleh lebih rendah daripada kelompok eksperimen. Berbeda dengan pembelajaran yang dilakukan pada kelompok eksperimen, Secara umum terjadinya perbedaan kemampuan memecahkan masalah dimungkinkan karena dalam pembelajaran kontekstual dengan pendekatan open ended dikembangkan Penalaran dan kemampuan memecahkan masalah dan kerja sama, hubungan antara pribadi yang positif dari latar belakang yang berbeda, menerapkan bimbingan antar teman, dan tercipta lingkungan belajara yang baik. Melalui pembelajaran kontekstual, penalaran siswa lebih baik karena siswa mendapatkan kesempatan untuk mengkonstruksi gagasan/ide sesuai dengan kemampuan mereka dengan kelompok kontrol melalui model pembelajaran dengan metode ekspositori. Fungsi guru pada pembelajaran kontekstual dengan pendekatan open ended hanya sebagai fasilitator, yaitu memberikan pengarahan seperlunya pada siswa. Guru menyajikan masalah untuk didiskusikan siswa sehingga siswa mendapatkan kesempata untuk mengelaborasi masalah yang dihadapi. 6. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil simpulan bahwa pembelajaran kontekstual dengan pendekatan open ended efektif pada pembelajaran matematika untuk materi segitiga, dijelaskan sebagai berikut. Siswa dapat mencapai ketuntasan belajar pada kelas pembelajaran kontekstual dengan pendekatan open ended. Kemampuan memecahkan masalah siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika menggunakan pembelajaran kontekstual dengan pendekatan open ended lebih baik dibandingkan pembelajaran ekspositori pada materi segitiga. Penalaran siswa dapat mencapai kriteria sedang pada kelas pembelajaran kontekstual dengan pendekatan open ended. DAFTAR PUSTAKA Akihiko, Takah Ashi. 2005. An Over view what is the open ended approach. De Paul University. Chicago IL. Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. . 2002. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Anonim.2002. Teori Pembelajaran Konstruktivisme. http://planet.time.net.my. /KLCC/azmo1/teori/teori pembelajaran_konstruktivism.htm (20 maret 2009). As’ari, Abdur, Rachman. 1999. Pengantar pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Problem Posing, Buletin Peningkatan Mutu Pendidikan, Menengah Umum Pelangi Pendidikan. 2(2), 42-46. Arifin, Z.1991. Evaluasi Instruksional. Jakarta: Rineka Cipta. Bell, G. And Woo, J. H. 1988. Probing the links between language and mathematical conceptualisation. Mathematics Education Research Journal, 10(1), 51-74. Byers, V. And Erlwanger, S. 1985. Memory in mathematical understanding. Educational Studies in Mathematics. 16(2), 59-81. Cobb, P. 2000. Constructivism. In A. E. Kazdin(ed). Encyclopedia of psychology (Vol.2, pp.277-9). Washington DC and New York: American Psychological Association and Oxford University Press. Cobb, P., Erna Yackel. And Terry Wood. 1992. a Constructivist alternative to the representational view of mind in Mathematics Education. Journal for Research in Mathematics Education. 23(1), 2-33. Darsono, Max, dkk. 2001. Belajar dan Pembelajaran. Semarang: IKIP Semarang Press. Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006. Jakarta. Depdiknas.2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Depdiknas. 2002. Pendekatan Pembelajaran Kontekstual. Departemen Pendidikan Dasar dan Menengah: Jakarta Dimyati. 1994. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Depdiknas. Foong. P. Y. 2002. Using short open ended Mathematics question to promote thinking and understanding. Paper Presented at the converences of 21st Century Project, Palermo: Italy Hamzah. 2001. Pembelajaran Matematika Menurut Teori Belajar Konstruktivisme. Pusat data dan Informasi Pendidikan, Balitbang–Depdiknas Hidayatul, Ani. 2007. Penerapan pendekatan open ended untuk meningkatkan kemampuan kognitif siswa dalam memecahkan masalah Pokok bahasan sistem persamaan linear dua variabel di kelas VIIIa semester 1 SMP N 1 Secang Kabupaten Magelang Tahun ajaran 2007/2008. Skripsi. Semarang: IKIP PGRI Semarang. Hudoyo, Herman. 2001. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: Universitas Negeri Malang. Hudoyo, Herman. 1990. Strategi Belajar Mengajar Matematika. Malang: Universitas Negeri Malang I gusti Agung Nyoman S. 2008. Penerapan pengajaran kontekstual berbasis masalah untuk meningkatkan hasil belajar biologi siswa kelas X2 SMA Laboratorium Singaraja. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pendidikan 2(1), 42-59. Ismail, dkk. 2006. Kapita Selekta Pembelajaran Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka. J. Dris. 2006. Matematika untuk SMP dan MTs Kelas VII. Jakarta : Piranti. Keiko, Hino. 2007. Toward the problem-centered clasroom: trends in mathematichal problem solving in Japan. ZDM Mathematics Education. 39(1), 503-514. Linda R. Kroll. 2004. Constructing Constructivism: how student-Teachers construct ideas of development, knowledge, learning, and teaching. Teacher and Teaching: theory and practice. 10(2), 200. Orton, Anthony 1991. Learning Mathematics: Issues, Theory and Classroom Practice. Caseel: University of leeds Centre for Studies Science and Mathematics Education. Piaget, J. 1997. To Learn is to invent. New York: Grossman. Pujiastuti, Emi. 2008. Petunjuk khusus Pengembangan sistem penilaian berbasis kompetensi. PPs UNNES. Robert, M. 2002. Problem soving and at-risk student: Making mathematics for all a classroom reality. Teaching Children Mathematics, 8(5), 258-270. Rosyidah, Fima. 2007. Pengembangan KBK Melalui Strategi Pembelajaran Kontekstual. Pendidikan Network. file ://c:/ Documents%20and%20 settings/compex/my%20documents/ketikan%20 rental/art...1/4/2007. Sanjaya, Wina. 2008. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana. Shadiq, Fadjar. 2004. Penalaran, Pemecahan Masalah dan Komunikasi dalam pembelajaran matematika. Departemen Pendidikan Nasional Pusat Pengembangan Penataran guru (PPPG) Matematika. Shimada, S. dan Becker, J.P. (1997). The Open-ended Approach : A New Proposal for Teaching Mathematics. Virginia: National Council of Theachers of Mathematics. Slameto. 2003. Belajar dan Faktor – Faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta. Sofwan, Achmad. 2003. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, Tesis dan Desertasi Program Pascasarjana. UNNES Sternberg, R.J. 2006. Cognitive Psychology. Belmont: Thomson Higher Education Sudjana. 2002. Metode Statistik. Bandung: Tarsito. Sudjana, Nana. 1987. Dasar-dasar Prosedur Mengajar. Bandung: Sinar Baru. Suherman, Erman. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika. Bandung: JICA. Suherman, Erman. 2008. Model Kontekstual dalam pembelajaran Matematika. Educare jurnal pendidikan dan budaya. http://educare.e-fkipunla.net. Syaban, Mumun. 2001. Menggunakan open-ended untuk memotivasi Berpikir Matematika. Vui, T. Mathematical Investigation. Makalah disajikan pada seameo recsam, Penang, Malaysia, 26 Februari 2001. Talbert, J.E. & McLaughlin, M.E.1999. Understanding Teaching in Context. Educational Leadership, 57(3), 200-214 Tuwu, Alimudin, 1993. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: Universitas Indonesia. Tim MKPBM. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA. TIM Penyusun KBBI. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Widdiharto, Rachmadi. 2004. Model – Model Pembelajaran Matematika SMP. Departemen Pendidikan Nasional Pusat Pengembangan Penataran guru (PPPG) Matematika. Wilis Dahar, Ratna. 1996. Teori – Teori Belajar. Jakarta: Erlangga. Zevenbergen, R., Dole, S. & Wright,RJ. 2004. Teaching Mathematics in Primary Schools. Australia: Allen & Unwin.

Jumat, Februari 03, 2012

IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW PADA PROGRAM PERLUASAN LESSON STUDY

Joko Sulianto
Pendidikan Dosen Sekolah Dasar
email: josul@ikippgrismg.ac.id

Abstrak: Implementasi Pembelajaran cooperative tipe jigsaw pada perluasan lesson study di program studi Pendidikan Dosen Sekolah Dasar. pelaksanaan lesson study mampu meningkatkan kerjasama dosen, terutama dosen dalam rumpun mata kuliah dikarenakan dalam penyusunan Rencana pembelajaran dilakukan bersama-sama dan menjadi tanggungjawab tim, dengan perencanaan bersama akan terbangun komunitas belajar antar dosen khususnya pengampu mata kuliah serumpun dan terbangun komunitas belajar yang positif.
Pelaksanaan lesson study sangat membawa pengaruh besar pada kegiatan pembelajaran dosen, meningkatkan kualitas pembelajaran dengan meningkatnya kualitas pembelajaran yang dilakukan dosen akan berdampak pada meningkatnya kualitas mahasiswa, dengan penerapan model pembelajaran kooperatif type jigsaw menambah aktifitas mahasiswa dalam belajar dan meningkatnya rasa tanggungjawab yang besar dalam belajar hal ini dapat berpengaruh pada prsetasi belajar mahasiswa.

Kata Kunci: Pembelajaran kooperatif, lesson study,
Pendahuluan
Pendidikan di Indonesia hanya mencapai tingkat-tingkat berpikir (ranah kognitif) rendah, yaitu pengetahuan, pemahaman dan aplikasi, sedangkan untuk tingkat-tingkat berpikir yang tinggi seperti analisis, evaluasi dan kreatif masih sangat rendah.

Hal ini menunjukkan adanya kekurangan dalam pembelajaran/perkuliahan di Perguruan Tinggi, antara lain:
a. Proses perkuliahan yang dilakukan kebanyakan dosen hanya terbatas pada memberikan pengetahuan hafalan, dan kurang menekankan pada aspek kognitif yang tinggi, seperti ketajaman daya analisis dan evaluasi, berkembangnya kreativitas, kemandirian belajar, dan berkembangannya aspek-aspek afektif. Mahamahasiswa pasif dan pengetahuan yang diperoleh seringkali tidak berguna dalam hidup dan pekerjaannya.
b. Materi perkuliahan kurang berorientasi pada bidang ilmunya, hasil penelitian lapangan, dan kebutuhan jangka panjang. Dosen menggunakan pola pembelajaran yang cenderung sama dari tahun ke tahun. Perubahan kurikulum tidak memberikan dampak pada perubahan materi ajar, metode, dan strategi pembelajaran.
c. Kompetensi/tujuan perkuliahan kebanyakan masih terbatas pada ranah kognitif dan psikomotor tingkat rendah.
Salah satu alternatif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran/ perkuliahan di Perguruan Tinggi adalah dengan melaksanakan Lesson Study. Lesson Study merupakan suatu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan, berlandaskan prinsip-prinsip kolegialitas yang saling membantu dalam belajar untuk membangun komunitas belajar. Lesson Study berasal dari bahasa Jepang (dari kata: jugyokenkyu) yaitu suatu proses sistematik yang digunakan oleh guru-guru Jepang untuk menguji keefektifan pengajarannya dalam rangka meningkatkan hasil pembelajaran (Garfield, 2006). Proses sistematik yang dimaksud adalah kerja guru-guru secara kolaboratif untuk mengembangkan rencana dan perangkat pembelajaran, melakukan observasi, refleksi dan revisi rencana pembelajaran secara bersiklus dan terus menerus. Menurut Lewis (2002) ide yang terkandung di dalam Lesson Study sebenarnya singkat dan sederhana, yakni jika seorang guru ingin meningkatkan pembelajaran, salah satu cara yang paling jelas adalah melakukan kolaborasi dengan guru lain untuk merancang, mengamati dan melakukan refleksi terhadap pembelajaran yang dilakukan.
Dalam era global, teknologi telah menyentuh segala aspek pendidikan sehingga, informasi lebih mudah diperloleh, hendaknya mahasiswa aktif berpartisipasi sedemikian sehingga melibatkan intelektual dan emosional mahasiswa didalam proses belajar. Keaktifan disini berarti keaktifan mental walaupun untuk maksud ini sedapat mungkin dipersyaratkan keterlibatan langsung keaktifan fisik dan tidak hanya berfokus pada satu sumber informasi yaitu dosen yang hanya mengandalakan satu sumber komunikasi. Seringnya rasa malu mahasiswa yang muncul untuk melakukan komunikasi dengan dosen, membuat kondisi kelas yang tidak aktif sehingga berpulang pada rendahnya prestasi belajar mahasiswa. Maka perlu adanya usaha untuk menimbulkan keaktifan dengan mengadakan komunikasi yaitu dosen dengan mahasiswa dan mahasiswa dengan rekannya. Salah satu pembelajaran yang ditawarkan adalah kooperatif tipe jigsaw.
Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw pertama kali dikembangkan oleh Aronson. dkk di Universitas Texas. Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif, mahasiswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-5 orang dengan memperhatikan keheterogenan, bekerjasama positif dan setiap anggota bertanggung jawab untuk mempelajari masalah tertentu dari materi yang diberikan dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain.
Keunggulan kooperatif tipe jigsaw meningkatkan rasa tanggung jawab mahasiswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Mahasiswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain.Meningkatkan bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan
Dalam model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, terdapat kelompok ahli dan kelompok asal. Kelompok asal adalah kelompok awal mahasiswa terdiri dari berapa anggota kelompok ahli yang dibentuk dengan memperhatikan keragaman dan latar belakang. Dosen harus trampil dan mengetahui latar belakang mahasiswa agar terciptanya suasana yang baik bagi setiap angota kelompok. Sedangkan kelompok ahli, yaitu kelompok mahasiswa yang terdiri dari anggota kelompok lain (kelompok asal) yang ditugaskan untuk mendalami topik tertentu untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal.
Para anggota dari kelompok asal yang berbeda, bertemu dengan topik yang sama dalam kelompok ahli untuk berdiskusi dan membahas materi yang ditugaskan pada masing-masing anggota kelompok serta membantu satu sama lain untuk mempelajari topik mereka tersebut. Disini, peran dosen adalah mefasilitasi dan memotivasi para anggota kelompok ahli agar mudah untuk memahami materi yang diberikan. Setelah pembahasan selesai, para anggota kelompok kemudian kembali pada kelompok asal dan mengajarkan pada teman sekelompoknya apa yang telah mereka dapatkan pada saat pertemuan di kelompok ahli.Para kelompok ahli harus mampu untuk membagi pengetahuan yang di dapatkan saat melakuakn diskusi di kelompok ahli, sehingga pengetahuan tersebut diterima oleh setiap anggota pada kelompok asal. Kunci tipe Jigsaw ini adalah interdependence setiap mahasiswa terhadap anggota tim yang memberikan informasi yang diperlukan. Artinya para mahasiswa harus memiliki tanggunga jawab dan kerja sama yang positif dan saling ketergantungan untuk mendapatkan informasi dan memecahkan masalah yang diberikan.
Metode
Lesson Study dilaksanakan dalam tiga tahapan yaitu tahapan pertama adalah Plan (merencanakan), tahapan kedua adalah Do (melaksanakan), dan tahapan ketiga adalah See (merefleksi) yang berkelanjutan. Dengan kata lain Lesson Study merupakan suatu cara peningkatan mutu pendidikan yang tak pernah berakhir (continous improvement).









Gambar siklus pengkajian pembelajaran dalam Lesson Study

Hasil Dan Pembahasan
Hasil yang telah diperoleh berdasarkan pengamatan dari kegiatan lesson study:
a. Meningkatnya kekolegaan antardosen dalam membelajarkan mahasiswa melalui tukar pengalaman dalam kegiatan Lesson Study.
b. Terbangunnya komunitas belajar antardosen, antarmahasiswa, dan antara mahasiswa dengan dosen di LPTK.
c. Meningkatnya kemampuan belajar mahasiswa, terutama dalam aspek kognitif tingkat tinggi dan aspek afektif.
d. Meningkatnya upaya pemenuhan hak belajar setiap mahasiswa.
e. Meningkatnya akuntabilitas pelaksanaan tugas perkuliahan oleh dosen (iklim keterbukaan, tanggungjawab, kerja terencana dan terevaluasi).
f. Terlaksananya kaderisasi dosen muda yang potensial dalam membina perkuliahan.
g. Adanya perubahan budaya dalam perkuliahan yang dilakukan dosen, yaitu dari budaya penyampaian ilmu ke budaya pencarian ilmu.
h. Diperolehnya model-model pembelajaran yang inovatif di sekolah.
i. Meningkatnya keprofesionalan dosen dalam melaksanakan pembelajaran di sekolah.
j. Meningkatkan pemahaman dosen LPTK mengenai konsep, prinsip, dan praktik Lesson Study.
k. Meningkatkan keterampilan dosen dalam melaksanakan Lesson Study agar keprofesionalannya meningkat.

Pembahasan
Dengan pelaksanaan lesson study mampu meningkatkan kerjasama dosen, terutama dosen dalam rumpun mata kuliah dikarenakan dalam penyusunan Rencana pembelajaran dilakukan bersama-sama dan menjadi tanggungjawab tim, dengan perencanaan bersama akan terbangun komunitas belajar antar dosen khususnya pengampu mata kuliah serumpun dan terbangun komunitas belajar yang positif.
Pelaksanaan lesson study sangat membawa pengaruh besar pada kegiatan pembelajaran dosen, meningkatkan kualitas pembelajaran dengan meningkatnya kualitas pembelajaran yang dilakukan dosen akan berdampak pada meningkatnya kualitas mahasiswa, dengan penerapan model pembelajaran kooperatif type jigsaw menambah aktifitas mahasiswa dalam belajar dan meningkatnya rasa tanggungjawab yang besar dalam belajar hal ini dapat berpengaruh pada prsetasi belajar mahasiswa.
Pembelajaran yang mulanaya berjalan teacher sentered lama kelamaan akan beralih budaya menjadi student center jika program perluasan lesson study ini dikembangkan secara terus menerus dan kontinue. Hal ini berdampak pada inovasi pembelajaran yang dilakukan dosen dengan menerapkan berbagai model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik mahasiswa.
Kesimpulan
1. Pembelajaran koopertif type jigsaw mampu meningkatkan aktifitas mahasiswa dalam belaja dan pada akhirnya meningkatkan hasil belajar mahasiswa

2. Dengan lesson study mampu meningkatkan kualitas dosen dalam bidang pendidikan, yang pada saatnya akan meningkatkan mutu lulusan.

Daftar Pustaka
1. Tim Penyusun Panduan. 2008. Program perluasan dan penguatan lesson study di LPTK. Derektotat Jendral Pendidikan Tinggi: Jakarta.
2. Robert E Slavin. 2006. Kooperative Learning: Erlangga: Jakarta
3. Erman Suherman. 2003. Strategi Pembelajaran Kontemporer. UPI Press: Bandung.