Senin, Juli 28, 2008

pembelajaran dengan Pendekatan Kontektual

Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar untuk Meningkatkan berpikir Kritis

Oleh: Joko Sulianto, S.Pd.
email : jokocakep@yahoo.com

ABSTRAK
Sudah menjadi tugas guru sebagai pengelola pembelajaran adalah menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan siswa belajar secara berdaya guna dan berhasil guna. Suatu upaya agar tercipta kondisi yang kondusif sehingga siswa dapat belajar secara optimal, yaitu dengan melaksanakan pembelajaran yang menggunakan pendekatan yang dapat membuat siswa belajar secara mudah dan dengan perasaan senang.
Salah satu prinsip yang dikembangkan dalam KTSP adalah berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Apa artinya? Artinya KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya. Peserta didik memiliki posisi sentral mempunyai makna bahwa kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik. Pendekatan pembelajaran matematika di sekolah yang diduga akan sejalan dengan harapan dari kurikulum dan dapat meningkatkan berpikir kritis siswa adalah pendekatan kontekstual. Dalam pembelajaran yang menggunakan pendekatan kontekstual materi disajikan melalui konteks yang bervariasi dan berhubungan dengan kehidupan siswa baik di rumah, di sekolah maupun di masyarakat secara luas, dan pengetahuan didapat oleh siswa secara konstruktivis.

Kata Kunci: Pendekatan konstekstual, Kemampuan berpikir kritis,Sekolah Dasar

A. Pendahuluan
Salah satu tujuan diberikannya matematika di jenjang pendidikan dasar dan menengah, yaitu untuk “Mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari …” (Depdikbud 1994:1). Selain itu juga diharapkan agar siswa dapat menggunakan matematika sebagai cara bernalar (berpikir logis, kritis, sistematis, dan objektif). Dikatakan pula oleh Gagne (Ruseffendi, 1988: 165), bahwa objek tidak langsung dari mempelajari matematika adalah agar siswa memiliki kemampuan memecahkan masalah. Dari pendapat Gagne dan tujuan Kurikulum Matematika, dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk dapat memecahkan suatu masalah, para siswa perlu memiliki kemampuan bernalar yang dapat diperoleh melalui pembelajaran matematika.
Dari hasil diskusi dengan para peserta diklat guru pemandu matematika SD di PPPG matematika Yogyakarta, dikemukakan bahwa pendekatan abstrak dengan metode ceramah dan pemberian tugas sanagatlah dominan dari setiap pembelajaran. Kemampuan bernalar tak terpisahkan dari kemampuan berpikir kritis. Dengan kata lain kemampuan berpikir kritis merupakan bagian dari penalaran. Hal ini sejalan dengan pendapat Krulik dan Rudnick (1995: 2), bahwa penalaran mencakup berpikir dasar (basic thinking), berpikir kritis (critical thinking), dan berpikir kreatif (creative thinking).
Kemampuan berpikir kritis seseorang dalam suatu bidang studi tidak dapat terlepas dari pemahamannya terhadap materi bidang studi tersebut. Menurut Meyers (1986) seseorang tak mungkin dapat berpikir kritis dalam suatu bidang studi tertentu tanpa pengetahuan mengenai isi dan teori bidang studi tersebut. Dengan demikian agar siswa dapat berpikir kritis dalam matematika, maka dia harus memahami matematika dengan baik.
Namun sebagaimana kita ketahui bahwa matematika bersifat aksiomatik, abstrak, formal, dan deduktif. Karenanya wajar jika matematika termasuk mata pelajaran yang dianggap sulit oleh siswa pada umumnya yang tahap berpikirnya belum formal dengan bakat serta kemampuannya yang bervariasi.
Di samping itu kenyataan menunjukkan bahwa bekal kemampuan materi matematika dari guru SD masih kurang memadai sehingga tidaklah mengherankan bila pembelajaran matematika yang dikelolanya menjadi kurang maksimal (Sukayati, 2004). Oleh karena itu diperlukan model pembelajaran yang mengaktifkan siswa dengan pendekatan nyata.
Masih rendahnya kualitas hasil pembelajaran siswa dalam matematika merupakan indikasi bahwa tujuan yang ditentukan dalam kurikulum matematika belum tercapai secara optimal. Agar tujuan tersebut dapat tercapai sesuai dengan yang diinginkan, salah satu caranya adalah dengan melaksanakan proses pembelajaran yang berkualitas.
Kualitas proses pembelajaran dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah ketepatan pendekatan yang digunakan. Pendekatan yang digunakan oleh para guru pada umumnya di lapangan, merupakan pendekatan yang berpusat pada guru. Guru masih menyampaikan materi pelajaran matematika dengan pendekatan tradisional yang menekankan pada latihan pengerjaan soal-soal atau drill and practice, prosedural, serta penggunaan rumus. Pada pembelajaran ini guru berfungsi sebagai pusat atau sumber materi guru yang aktif dalam pembelajaran, sedangkan siswa hanya menerima materi. Hal ini merupakan salah satu penyebab rendahnya kualitas pemahaman siswa terhadap matematika (Zulkardi,2001; IMSTEP-JICA, 1999). Siswa menyelesaikan banyak soal tanpa pemahaman yang mendalam. Akibatnya kemampuan penalaran (berpikir kritis) dan kompetensi strategis siswa tidak berkembang.
Informasi-informasi tersebut memperkuat pentingnya ketepatan pendekatan pembelajaran yang digunakan agar para peserta didik dapat mengembangkan potensi dirinya. Selain itu fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa pendekatan pembelajaran tradisional ternyata kurang mendukung untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa dengan baik.
Di lain pihak, Contextual Teaching and Learning (CTL) membantu guru mengaitkan materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pengetahuan dan keterampilan siswa diperoleh dari usaha siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru ketika ia belajar. Pembelajaran berbasis CTL melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran produktif, yakni: konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning community), pemodelan (Modeling), refleksi (reflection), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assessment) (Depdiknas, 2002: 26). Selain itu, dalam pembelajaran kontekstual siswa diharapkan untuk memiliki kemampuan berpikir kritis dan terlibat penuh dalam proses pembelajaran yang efektif. Sedangkan guru mengupayakan dan bertanggungjawab atas terjadinya proses pembelajaran yang efektif tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa ada kesenjangan antara tujuan pembelajaran matematika yang ingin dicapai, di antaranya yaitu memiliki kemampuan berpikir kritis, dan kenyataan yang ada di lapangan. Juga dapat kita cermati bahwa agar kemampuan berpikir kritis siswa dapat dikembangkan dengan baik, maka proses pembelajaran yang dilaksanakan harus melibatkan siswa secara aktif.
Di lain pihak, mengingat komponen-komponen yang dimiliki CTL, pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual dapat dicoba sebagai salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk melatih siswa dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritisnya dalam matematika.

B. Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual
Untuk beradaptasi dengan perkembangan kebutuhan masyarakat dan teknologi, pembelajaran matematika di SD/MI perlu terus ditingkatkan kualitasnya. Kita melihat dan merasakan bahwa informasi yang harus diketahui oleh manusia setiap hari begitu beraneka, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya, sehingga tidak mungkin kita memilih dan memahami sebagian kecilpun dari informasi tersebut tanpa memanfaatkan cara atau strategi tertentu untuk memperolehnya. Pendefinisian pembelajaran dengan pendekatan kontekstual yang dikemukakan oleh ahli sangatlah beragam, namun pada dasarnya memuat faktor-faktor yang sama. Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning, CTL) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang dimulai dengan mengambil, mensimulasikan, menceritakan, berdialog, bertanya jawab atau berdiskusi pada kejadian dunia nyata kehidupan sehari-hari yang dialami siswa, kemudian diangkat kedalam konsep yang akan dipelajari dan dibahas. Melalui pendekatan ini, memungkinkan terjadinya proses belajar yang di dalamnya siswa mengeksplorasikan pemahaman serta kemampuan akademiknya dalam berbagai variasi konteks, di dalam ataupun di luar kelas, untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya baik secara mandiri ataupun berkelompok. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan Berns dan Ericson (2001), yang menyatakan bahwa pembelajaran dengan pendekatan kontekstual adalah suatu konsep pembelajaran yang dapat membantu guru menghubungkan materi pelajaran dengan situasi nyata, dan memotivasi siswa untuk membuat koneksi antara pengetahuan dan penerapannya dikehidupan sehari-hari dalam peran mereka sebagai anggota keluarga, warga negara dan pekerja, sehingga mendorong motivasi mereka untuk bekerja keras dalam menerapkan hasil belajarnya. Dengan demikian pembelajaran kontekstual merupakan suatu sistem pembelajaran yang didasarkan pada penelitian kognitif, afektif dan psikomotor, sehingga guru harus merencanakan pengajaran yang cocok dengan tahap perkembangan siswa, baik itu mengenai kelompok belajar siswa, memfasilitasi pengaturan belajar siswa, mempertimbangkan latar belakang dan keragaman pengetahuan siswa, serta mempersiapkan cara-teknik pertanyaan dan pelaksanaan assessmen otentiknya, sehingga pembelajaran mengarah pada peningkatan kecerdasan siswa secara menyeluruh untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya.
Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual merupakan salah satu pendekatan konstruktivisme baru dalam pembelajaran matematika, yang pertama-tama dikembangkan di negara Amerika, yaitu dengan dibentuknya Washington State Consortium for Contextual oleh Departemen Pendidikan Amerika Serikat. Menurut Owens (2001) bahwa pada tahun 1997 sampai dengan tahun 2001 diselenggarakan tujuh proyek besar yang bertujuan untuk mengembangkan, menguji, serta melihat efektivitas penyelenggaraan pengajaran matematika secara kontekstual. Proyek tersebut melibatkan 11 perguruan tinggi, 18 sekolah, 85 orang guru dan profesor serta 75 orang guru yang sebelumnya sudah diberikan pembekalan pembelajaran kontekstual. Selanjutnya penyelenggaraan program ini berhasil dengan sangat baik untuk level perguruan tinggi dan hasilnya direkomendasikan untuk segera disebarluaskan pelaksanaannya. Hasil penelitian untuk tingkat sekolah, yakni secara signifikan terdapat peningkatan ketertarikan siswa untuk belajar, dan meningkatkan secara utuh partisipasi aktif siswa dalam proses belajar mengajar.
Selanjutnya Northwest Regional Education Laboratories dengan proyek yang sama, melaporkan bahwa pengajaran kontekstual dapat menciptakan kebermaknaan pengalaman belajar dan meningkatkan prestasi akademik siswa. Demikian pula Owens (2001) menyatakan bahwa pengajaran konteksual secara praktis menjanjikan peningkatan minat, ketertarikan belajar siswa dari berbagai latar belakang serta meningkatkan partisipasi siswa dengan mendorong secara aktif dalam memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengkoneksikan dan mengaplikasikan pengetahuan yang telah mereka peroleh.
Pendapat lain mengenai komponen-komponen utama dari pengajaran kontekstual yaitu menurut Johnson (2002), yang menyatakan bahwa pengajaran kontekstual berarti membuat koneksi untuk menemukan makna, melakukan pekerjaan yang signifikan, mendorong siswa untuk aktif, pengaturan belajar sendiri, bekerja sama dalam kelompok, menekankan berpikir kreatif dan kritis, pengelolaan secara individual, menggapai standar tinggi, dan menggunakan asesmen otentik.
Menurut Zahorik (Nurhadi,2002:7) ada lima elemen yang harus diperhatikan dalam praktek pembelajaran kontekstual, yaitu :
Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge)
Pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge) dengan cara mempelajari secara keseluruhan dulu, kemudian memperhatikan detailnya.
Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), yaitu dengan cara menyusun (a) Konsep sementara (hipotesis), (b) melakukan sharing kepada orang lain agar mendapat tanggapan (validisasi) dan atas dasar tanggapan itu (c) konsep tersebut direvisi dan dikembangkan.
Mempraktekan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge)
Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut.
Agar lebih jelas lagi mengenai pembelajaran kontekstual, marilah kita lihat beberapa perbedaan antara pendekatan kontekstual dan pendekatan tradisional versi Depdiknas (2002: 7-9), yaitu sebagai berikut:
No.
Pendekatan CTL
Pendekatan Tradisional
1
Siswa secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran.
Siswa adalah penerima informasi secara pasif.
2
Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata dan atau masalah yang disimulasikan.
Pembelajaran sangat abstrak dan teoritis.
3
Keterampilan dikembangkan atas dasar pemahaman.
Keterampilan dikembangkan atas dasar latihan.
4
Pemahaman rumus dikembangkan atas dasar skemata yang sudah ada dalam diri siswa.
Rumus itu ada di luar diri siswa, yang harus diterangkan, diterima, dihafalkan, dan dilatihkan.
5
Pemahaman rumus itu relatif berbeda antara siswa yang satu dengan lainnya, sesuai dengan skemata siswa (on going process of development).
Rumus adalah kebenaran absolut (sama untuk semua orang). Hanya ada dua kemungkinan, yaitu pemahaman rumus yang salah atau pemahaman rumus yang benar.
6
Siswa menggunakan kemampuan berpikir kritis, terlibat penuh dalam mengupayakan terjadinya proses pembelajaran yang efektif, ikut bertanggungjawab atas terjadinya proses pembelajaran yang efektif, dan membawa skemata masing-masing ke dalam pembelajaran.

Siswa secara pasif menerima rumus atau kaidah (membaca, mendengarkan, mencatat, menghafal), tanpa memberikan kontribusi ide dalam proses pembelajaran.
7
Penghargaan terhadap pengalaman siswa sangat diutamakan.
Pembelajaran tidak memperhatikan pengalaman siswa.

D. Berpikir Kritis
Menurut Webster’s New Encyclopedic All New 1994 Edition “kritis” (critical) adalah “Using or involving careful judgement” sehingga “berpikir kritis” dapat diartikan sebagai berpikir yang membutuhkan kecermatan dalam membuat keputusan. Pengertian yang lain diberikan oleh Ennis (1996) yaitu: berpikir kritis merupakan sebuah proses yang bertujuan untuk membuat keputusan yang masuk akal mengenai apa yang kita percayai dan apa yang kita kerjakan.
Berpikir kritis merupakan salah satu tahapan berpikir tingkat tinggi. Costa (Liliasari, 2000: 136) mengkategorikan proses berpikir kompleks atau berpikir tingkat tinggi kedalam empat kelompok yang meliputi pemecahan masalah (problem solving), pengambilan keputusan (decision making), berpikir kritis (critical thinking), dan berpikir kreatif (creative thinking). Berpikir kritis diperlukan dalam kehidupan di masyarakat, karena dalam kehidupan di masyarakat manusia selalu dihadapkan pada permasalahan yang memerlukan pemecahan. Untuk memecahkan suatu permasalahan tentu diperlukan data-data agar dapat dibuat keputusan yang logis, dan untuk membuat suatu keputusan yang tepat, diperlukan kemampuan berpikir kritis yang baik.
Karena begitu pentingnya, berpikir kritis pada umumnya dianggap sebagai tujuan utama dari pembelajaran. Selain itu berpikir kritis memainkan peranan yang penting dalam banyak macam pekerjaan, khususnya pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan ketelitian dan berpikir analitis (Watson dan Glaser (1980:1)). Pendapat tersebut sesuai pula dengan tujuan pembelajaran matematika di jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah seperti tertuang baik dalam Kurikulum 1994 maupun Kurikulum 2004, yang bertujuan agar siswa dapat menggunakan matematika sebagai cara bernalar (berpikir logis, kritis, sistematis, dan objektif) yang dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah, baik masalah dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan.
Menurut Krulik dan Rudnick (1995: 2) penalaran meliputi berpikir dasar (basic thinking), berpikir kritis (critical thinking), dan berpikir kreatif (creative thinking). Terdapat delapan buah deskripsi yang dapat dihubungkan dengan berpikir kritis, yaitu menguji, menghubungkan, dan mengevaluasi semua aspek dari sebuah situasi atau masalah, memfokuskan pada bagian dari sebuah situasi atau masalah, mengumpulkan dan mengorganisasikan informasi, memvalidasi dan menganalisis informasi, mengingat dan menganalisis informasi, menentukan masuk akal tidaknya sebuah jawaban, menarik kesimpulan yang valid, memiliki sifat analitis dan refleksif.
Beberapa kemampuan yang dikaitkan dengan konsep berpikir kritis, adalah kemampuan-kemampuan untuk memahami masalah, menyeleksi informasi yang penting untuk menyelesaikan masalah, memahami asumsi-asumsi, merumuskan dan menyeleksi hipotesis yang relevan, serta menarik kesimpulan yang valid dan menentukan kevalidan dari kesimpulan-kesimpulan (Dressel dan Mayhew) (Watson dan Glaser, 1980:1). Dari pendapat para ahli seperti telah diutarakan di atas, dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis merupakan bagian dari penalaran.
Bonnie dan Potts (2003) berpendapat bahwa terdapat beberapa kemampuan yang terpisah yang berkaitan dengan kemampuan yang menyeluruh untuk berpikir kritis, yaitu: menemukan analogi-analogi dan macam hubungan yang lain antara potongan-potongan informasi, menentukan kerelevanan dan kevalidan informasi yang dapat digunakan untuk pembentukan dan penyelesaian masalah, serta menemukan dan mengevaluasi penyelesaian atau cara-cara lain dalam menyelesaikan masalah. Meskipun semua pendapat di atas berbeda, namun pada hakekatnya memiliki kesamaan pada aspek mengumpulkan, mengevaluasi, dan menggunakan informasi secara efektif.
Dengan demikian agar para siswa tidak salah pada waktu membuat keputusan dalam kehidupannya, mereka perlu memiliki kemampuan berpikir kritis yang baik. Menurut Ruber (Romlah, 2002: 9) dalam berpikir kritis siswa dituntut menggunakan strategi kognitif tertentu yang tepat untuk menguji keandalan gagasan, pemecahan masalah, dan mengatasi masalah serta kekurangannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Tapilouw (Romlah, 2002:9), bahwa “berpikir kritis merupakan berpikir disiplin yang dikendalikan oleh kesadaran. Cara berpikir ini merupakan cara berpikir yang terarah, terencana, mengikuti alur logis sesuai dengan fakta yang diketahui”.
Dari uraian di atas tampak bahwa berpikir kritis berkaitan erat dengan argumen, karena argumen sendiri adalah serangkaian pernyataan yang mengandung pernyataan penarikan kesimpulan. Seperti diketahui kesimpulan biasanya ditarik berdasarkan pernyataan-pernyataan yang diberikan sebelumnya atau yang disebut premis. Dalam argumen yang valid sebuah kesimpulan harus ditarik secara logis dari premis-premis yang ada.
Hal ini sesuai dengan pendapat Ennis (1996) yang secara singkatnya menyatakan bahwa terdapat enam unsur dasar dalam berpikir kritis, yaitu fokus (focus), alasan (reason), kesimpulan (inference), situasi (situation), kejelasan (clarity), dan tinjauan ulang (overview). Dari pendapat ini dapat dijelaskan bahwa tahap-tahap dalam berpikir kritis adalah sebagai berikut:
1. Fokus (focus). Langkah awal dari berpikir kritis adalah mengidentifikasi masalah dengan baik. Permasalahan yang menjadi fokus bisa terdapat dalam kesimpulan sebuah argumen.
2. Alasan (reason). Apakah alasan-alasan yang diberikan logis atau tidak untuk disimpulkan seperti yang tercantum dalam fokus.
3. Kesimpulan (inference). Jika alasannya tepat, apakah alasan itu cukup untuk sampai pada kesimpulan yang diberikan?
4. Situasi (situation). Mencocokkan dengan situasi yang sebenarnya.
5. Kejelasan (clarity). Harus ada kejelasan mengenai istilah-istilah yang dipakai dalam argumen tersebut sehingga tidak terjadi kesalahan dalam membuat kesimpulan.
6. Tinjauan ulang (overview). Artinya kita perlu mencek apa yang sudah ditemukan, diputuskan, diperhatikan, dipelajari dan disimpulkan.
Untuk menilai kemampuan berpikir kritis Watson dan Glaser (1980) melakukan pengukuran melalui tes yang mencakup lima buah indikator, yaitu mengenal asumsi, melakukan inferensi, deduksi, interpretasi, dan mengevaluasi argumen. Dari berbagai macam kemampuan yang berkaitan dengan berpikir kritis yang dikemukakan oleh para ahli, ternyata pengukuran kemampuan berpikir kritis itu sudah tercakup dalam lima buah indikator seperti yang dikemukakan oleh Watson dan Glaser. Oleh karena itu dalam penelitian ini penulis melakukan pengukuran kemampuan berpikir kritis berdasarkan lima buah indikator tersebut, yaitu mengenal asumsi, melakukan inferensi, deduksi, interpretasi, dan mengevaluasi argumen.
Wijaya (Muhammad, 2002: 9) mengatakan bahwa “Kemampuan berpikir kritis sebagai bagian dari keterampilan berpikir perlu dimiliki oleh setiap anggota masyarakat, sebab banyak sekali persoalan-persoalan dalam kehidupan yang harus dikerjakan dan diselesaikan”. Berdasarkan uraian di atas, karena kemampuan berpikir kritis sangat diperlukan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan dan memecahkan permasalahan yang ada dalam kehidupan di masyarakat, jelas bahwa siswa sebagai bagian dari masyarakat harus dibekali dengan kemampuan berpikir kritis yang baik.
E. Pembelajaran untuk Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis
Selanjutnya bagaimana cara mengajar para siswa agar mereka memiliki kemampuan berpikir kritis yang baik? Menurut Bonnie dan Potts (2003) secara singkat dapat disimpulkan bahwa ada tiga buah strategi untuk mengajarkan kemampuan-kemampuan berpikir kritis, yaitu : (1) Building Categories (Membuat Klasifikasi), (2) Finding Problem (Menemukan Masalah), dan (3) Enhancing the Environment (Mengkondusifkan lingkungan).
Disebutkan pula bahwa beberapa “ciri khas” dari mengajar untuk berpikir kritis meliputi : (1) Meningkatkan interaksi di antara para siswa sebagai pebelajar, (2) Dengan mengajukan pertanyaan open-ended, (3) Memberikan waktu yang memadai kepada para siswa untuk memberikan refleksi terhadap pertanyaan yang diajukan atau masalah-masalah yang diberikan, dan (4) Teaching for transfer (Mengajar untuk dapat menggunakan kemampuan yang baru saja diperoleh terhadap situasi-situasi lain dan terhadap pengalaman sendiri yang para siswa miliki).
C. Penutup
Berdasarkan uraian di atas, Pendekatan pembelajaran matematika secara konvensional yang menuntut siswa menghafal aksioma, definisi, teorema, serta prosedur penggunaan teorema tersebut, sudah saatnya diminimalkan, dan diganti dengan strategi dan pendekatan yang dapat mengarahkan siswa menjadi aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Dengan mengimplementasikan Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar untuk Meningkatkan berpikir Kritis sebagai bahan pendalaman materi yang dipandang cukup strategis dalam meningkatkan kualitas professional guru matematika.


E. Daftar Pustaka

Berns, R.G and Erickson, P.M. (2001). Contextual Teaching and Learning. The Highlight Zone : Research a Work No. 5 (Online) Available: http: //www.ncte.org/publications/infosyntesis/highlight 05/index.asp ?dirid = 145 & dspid =1.

Bonnie dan Potts. (2003). Strategies for Teaching Critical Thinking. Practical Assesment, Research & Evaluation. [online]. Tersedia: http : //edresearch.org/pare/getvn.asp?v=4&n=3. [2 Juli 2003].

Depdikbud. (1994). Kurikulum Pendidikan Dasar Garis-Garis Besar Program Pengajaran Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Jakarta: Depdikbud.

Depdiknas. (2002). Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning (CTL)). Jakarta: Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Menengah.

Ennis, R, H. (1996). Critical Thinking. New Jersey: Prentice-Hall Inc.



Krulik, S dan Rudnick, J.A (1995). The New Sourcebook for Teaching Reasoning and Problem Solving in Elementary School. Massachusetts: Allyn & Bacon A Simon & Schuster Company.

Liliasari. (2000). Model Pembelajaran untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Konseptual Tingkat Tinggi Calon Guru IPA. Dalam Proceeding Nasional Science Education Seminar, The Problem of Mathematics and Science Education and Alternative to Solve the Problems. Malang: JICA-IMSTEP FMIPA UM.


Meyers, C. (1986). Teaching Students to Think Critically. San Fransisco: Jossey-Bass Inc., Publishers.

Muhammad, M. L. (2002). Pengaruh Pemberian Soal Terbuka Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMU dalam Pembelajaran Matematika. Skripsi pada FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak Diterbitkan.

Nurhadi.(2002). Pendekatan Kontekstual. Jakarta : Dirjen Dikdasmen.

Owens, T. (2001, Spring). Teacher Preparation for Contextual Teaching and Learning A Statewide Consortium Model. Portland, Oregon; Northwest Regional Educational Laboratory.

Romlah, N. H. S. (2002). Peningkatan Berpikir Kritis dan Analisis dalam Pembelajaran Bryophyta. Skripsi FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia: Tidak Diterbitkan.

Ruseffendi, E. T. (1988). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.


Watson, G dan Glaser, E. M. (1980). Critical Thinking Appraisal. New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc.

Zulkardi. (2001). Seminar Sehari Realistic Mathematics Education. UPI Bandung.

1 komentar:

Joko sulianto mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.