Kamis, Februari 05, 2009

TEST ITEM CONSTRUCTION BASED ON CONTEKTUAL TEACHING LEARNING (CTL) UNTUK MENINGKATKAN KETRAMPILAN MEMECAHKAN MASALAH SISWA SMP KELAS VII

Oleh: Tri Suyati, M.Pd., Joko Sulianto, S.Pd.
Dosen IKIP PGRI Semarang, email : Jokocakep@yahoo.com. http://jokocakep.blogspot.com.

Abstrac: usaha mensikapi berbagai problematika pembelajaran matematika berujung pada munculnya inovasi–inovasi dalam pembelajaran matematika. Inovasi pembelajaran matematika yang palin menonjol adalah rekonstruksi pemahaman matematika (mathematical meaning reconstruction) melalui berbagai model pembelajaran dan sistem penilaian. Trend pembelajaran yang dikembangkan saat ini secara formal mengikuti rekomendasi dari NCTM (National Council of Teacher of Mathematics) di Amerika. Pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Assesment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami kemacetan dalam belajar, maka guru segera bisa mengambil tindakan yang tepat agar siswa terbebas dari kemacetan belajar. Suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pernyataan itu menunjukkan adanya tantangan (challenge) yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur rutin yang sudah diketahui pelaku, maka untuk menyelesaikan suatu masalah diperlukan waktu yang relatif lebih lama dari pada proses pemecahan soal rutin biasa.

Kata-kata kunci: kontekstual, tes item, authentik assasment, pemecahan masalah.


Permasalahan pokok dalam pembelajaran matematika berkaitan dengan tujuan pembelajaran, cara mencapai tujuan tersebut, serta bagaimana mengetahui bahwa tujuan tersebut telah tercapai. (Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah 2004: 2)
Pendidikan matematika berbasis kompetensi menekankan pada pengembangan pengalaman belajar tangan pertama, contextual teaching and learning (CTL), meaningful teching, dengan memperhatikan kecakapan hidup (life skill) baik berupa generik skill (kecakapan personal, kecakapan sosial) maupun spesific skill (kecakapan akademik, dan kecakapan ketrampilan). (Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah 2004: 2)
Mengajarkan matematika tidaklah mudah karena fakta menunjukkan bahwa para siswa mengalami kesulitan dalam mempelajari matematika (Jaworski dalam Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah 2004: 3).
Tidak sedikit guru matematika yang merasa kesulitan dalam membelajarkan siswa bagaimana menyelesaikan problem matematika. Kesulitan itu lebih disebabkan suatu pandangan yang mengatakan bahwa jawaban akhir dari permasalahan merupakan tujuan utama dari pembelajaran. Prosedur siswa dalam menyelesaikan permasalahan kurang, bahkan tidak diperhatikan oleh guru karena terlalu berorientasi pada kebenaran jawaban akhir. Padahal perlu kita sadari bahwa proses penyelesaian suatu problem yang dikemukakan siswa merupakan tujuan utama dalam pembelajaran problem solving matematika. (Suherman, 2003: 123)
Usaha mensikapi berbagai problematika pembelajaran matematika berujung pada munculnya inovasi–inovasi dalam pembelajaran matematika. Inovasi pembelajaran matematika yang palin menonjol adalah rekonstruksi pemahaman matematika (mathematical meaning reconstruction) melalui berbagai model pembelajaran dan sistem penilaian. Trend pembelajaran yang dikembangkan saat ini secara formal mengikuti rekomendasi dari NCTM (National Council of Teacher of Mathematics) di Amerika. (Wordpres, 2007: 2).
Pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Pembelajaran kontektual (Contextual Teaching and learning) melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan penilaian yang sebenarnya (Authentic Assesment).

PEMBELAJARAN CONTEXTUAL TEACHING LEARNING (CTL)
Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat jangka pendek tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Dan itulah yang terjadi di kelas-kelas sekolah kita. (Depdiknas, 2002: 1).
Pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Zahorik dalam Depdiknas 2002 mengatakan bahwa " Knowledge is constructed by human. Knowledge is not a set of facts, concepts, or laws waiting to be discovered. It is not something that exists independent of knower. Human create or construct knowledge as they attempt to bring meaning to their experience. Everything that we know, we have made. Knowledge is konjectural and fallible. Since knowledge is a construction of human and humans constantly under going new experiences, knowledge can never by stable. The understandings that we invent are always tentative and incomplete. Knowledge grows through exsposure. Understand becomes deeper and stronger if one test it against new encounters". Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa.
Dalam konteks itu, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana mencapainya. Mereka sadar bahwa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya nanti. Mereka mempelajari apa yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya menggapainya. Dalam upaya itu, mereka memerlukan guru sebagai pengarah dan pembimbing.
Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi dari pada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru (pengetahuan dan keterampilan) datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pembelajaran kontekstual. Ada lima elemen yang harus diperhatikan dalam praktek pembelajaran kontektual: 1). Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge) artinya apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki keterkaitan satu sama lain, 2). Pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge) dengan cara mempelajari secara keseluruhan dulu, kemudian memperhatikan detailnya, 3). Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge) artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal tetapi untuk dipahami dan diyakini, misalanya dengan cara meminta tanggapan yang lain tentang pengetahuan yang diperolehnya dan berdasarkan tanggapan tersebut baru pengetahuan dikembangkan 4). Mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applaying knowledge) artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan perilaku siswa, 5). Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut. (Sanjaya, 2008: 256).
Ada tujuh komponen utama pembelajaran yang mendasari penerapan pembelajaran kontekstual dikelas. Ketujuh komponen utama itu adalah konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment). Sebuah kelas dikatakan menggunakan pembelajaan kontekstual jika menerapkan ketujuh komponen tersebut dalam pembelajarannya.
AKTIVITAS/KEGIATAN KOMPONEN CTL
1. Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.  Komponen konstruktivisme sebagai filosofi
2. Laksanakan kegiatan inkuiri untuk mencapai kompetensi yang diinginkan di semua bidang studi.  Komponen inkuiri sebagai strategi belajar
3. Bertanya sebagai alat belajar, kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.  Komponen bertanya sebagai keahlian dasar yang dikembangkan
4. Ciptakan masyarakat belajar (belajar dalam komponen-komponen)  Komponen masyarakat belajar sebagai pencip-taan lingkungan belajar.
5. Tunjukkan model sebagai contoh pembelajaran (benda-benda, guru, siswa lain, dll)  Komponen pemodelan sebagai acuan pencapaian kompetensi
6. Lakukan refleksi di akhir pertemuan agar siswa merasa bahwa hari ini mereka belajar sesuatu  Komponen refleksi seba-gai langkah akhir dari belajar.
7. Lakukan penilaian yang sebenarnya: dari berbagai sumber dan dengan berbagai cara  Komponen penilaian yang sebenarnya

PENILAIAN SEBENARNYA
Penerapan KBK diiringi oleh penerapan strategi pembelajaran kontekstual. Sedangkan penerapan pembelajaran berbasis kontekstual sudah selayaknya diiringi oleh sistem penilaian yang berbasis kontekstual pula. Authentic assesment adalah prosedur penilaian pada pembelajaran kontekstual. Prinsip yang dipakai dalam penilaian serta ciri-ciri penilaian autentik adalah sebagai berikut:
Assesment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami kemacetan dalam belajar, maka guru segera bisa mengambil tindakan yang tepat agar siswa terbebas dari kemacetan belajar.
Data yang dikumpulkan melalui kegiatan penilaian (assesment) bukanlah untuk mencari informasi tentang belajar siswa. Pembelajaran yang benar memang seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu mempelajari, bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi di akhir periode pembelajaran.
Karena assesment menekankan proses pembelajaran, maka data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran. Kemajuan belajar dinilai dari proses, bukan melulu hasil dan dengan berbagai cara. Tes hanya salah satunya.

PEMECAHAN MASALAH
Suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pernyataan itu menunjukkan adanya tantangan (challenge) yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur rutin yang sudah diketahui pelaku, maka untuk menyelesaikan suatu masalah diperlukan waktu yang relatif lebih lama dari pada proses pemecahan soal rutin biasa. Untuk dapat memecahkan masalah, ada empat langkah penting yang harus diselesaikan:
1. Memahami masalahnya
Pada langkah ini, para siswa harus dapat menentukan dengan jeli apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan. Namun yang perlu diingat, kemampuan otak manusia sangatlah terbatas, sehingga hal–hal penting hendaknya dicatat, dibuat tabelnya, ataupun dibuat grafik atau sket. Tabel atau gambar ini dimaksudkan untuk mempermudah memahami masalahnya dan mempermudah mendapatkan gambaran umum penyelesaiannya. Dengan membuat gambar, diagram atau tabel, hal hal yang diketahui tidak hanya dibayangkan didalam otak yang sangat terbatas kemampuannya, namun dapat dituangkan diatas kertas.
2. Merencanakan cara penyelesaiannya
Untuk memecahkan masalah apa yang harus dilakukan? apakah akan melakukan dengan mencoba–coba? namun bagaimana jika ada kombinasi bilangan yang terlewati? untuk menghindari hal tersebut, diperlukan adanya aturan–aturan yang dibuat sendiri oleh para pelaku selama proses pemecahan masalah berlangsung sehingga dapat dipastikan tidak ada satupun alternatif yang terabaikan.
(Shadiq, 2004: 11).
3. Melaksanakan rencana
Artinya setiap langkah yang telah kita rencanakan dilaksankan pada bagian ini sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.
4. Menafsirkan Hasilnya
Langkah melihat kembali untuk melihat apakah penyelesaian yang kita peroleh sudah sesuai dengan ketentuan yang diketahui dan tidak terjadi kontradiksi merupakan langkah terakhir yang penting. ( Hudoyo, 2001: 169).
KAIDAH PENULISAN BUTIR SOAL
Materi
1. Soal harus sesuai dengan indicator, baik perilaku maupun materinya.
2. Pengecoh (distracter) semuanya harus berfungsi
3. Pada pemikiran kontekstual soal bisa dibuat yang memungkinkan diselesaikan dengan banyak strategi.

Konstruksi
1. Pokok soal (stem soal) memuat kemampuan dan materi yang hendak diukur dan harus dirumuskan dengan jelas
2. soal harus memuat satu perilaku saja.
3. kalimat pada soal hanya mempunyai satu pengertian saja (tidak ambiguous)
4. Rumusan stem dan pilihan (option) memuat pernyataan yang diperlukan saja.
5. pokok soal tidak memuat “clue” atau petunjuk kearah jawaban yang benar.
6. pokok soal tidak memuat pernyataan negative ganda.
7. Pilihan jawaban hendknya logis dan homogen.
8. Gambar, diagram, table, grafik hendaknya jelas dan berfungsi serta tidak tumpang tindih .
9. Pokok soal tidak memuat kata sebaiknya, kadang-kadang, umumnya.
10. Butir soal jangan berkaitan dengan butir soal sebelumnya apalagi dengan butir soal sesudahnya.
Bahasa
1. Semua soal harus menggunakan Bahasa Indonesia yang baku dan sesuai dengan “kaidah bahasa Indonesia”.
2. Bahasa Indonesia yang digunakan harus komunikatif.
3. Bahasa Indonesia yang digunakan jangan yang berlaku setempat atau istilah yang tidak baku atau menyinggung perasaan siswa
Simpulan

Dengan disusun soal test yang sesuai dengan based contextual theacing learning siswa dapat memiliki ketrampilan pemecahan masalah yang semakin baik dalm pembelajaran matematika.

Saran
Hendaknya guru mampu menyusun tes item constustion yang mampu meningkatkan ketrampilan siswa dalam memecahkan masalah.
Soal merupakan bagian dari instrument untuk mengukur kemampuan siswa hendaknya disusun dengan baik sesuai dengan kaidah penyusunan soal.

Daftar Pustaka


As’ari, Abdur, Rachman. 1999. Pengantar pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Problem Posing, Buletin Peningkatan Mutu Pendidikan, Menengah Umum Pelangi Pendidikan Tahun 1999/2000 No. 2 Volume 2 Halaman 42-46.

Budi Hartono, Agus. 2004. Pembelajaran Kontektual mengokohkan akuntabilitas Pembelajaran Matematika. PPPG Matematika Yogyakarta.

Budiningsih, c Asri, DR. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta

Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006. Jakarta.

Hamzah. 2001. Pembelajaran Matematika Menurut Teori Belajar Konstruktivisme. Pusat data dan Informasi Pendidikan, Balitbang–Depdiknas. http://www. DEPDIKNAS.GO.ID.

Rosyidah, Fima. 2007. Pengembangan KBK Melalui Strategi Pembelajaran Kontekstual. Pendidikan Network.file ://c:/ Documents%20and%20 settings/compex/my%20documents/ketikan%20 rental/art...1/4/2007.

Ruseffendi. 1991. Pengantar kepada membantu Guru mengembangkan kompetensinya dalam pengajaran matematika untuk meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Sanjaya, Wina. M.Pd, Dr. 2008. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.