Sabtu, Oktober 19, 2013

Teori Belajar Kognitif David Ausubel”Belajar Bermakna”, Zoltan P Dienes ”Belajar Permainan”, Van Heille”Pengajaran Geometri”


Oleh: Joko Sulianto, Setyo Hartanto
Abstrak
Menurut Ausubel belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran yang disajikan pada siswa melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada. Meliputi fakta, konsep, dan generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa. Agar terjadi belajar bermakna, konsep baru atau informasi baru harus dikaitkan dengan konsep konsep yang telah ada dalam struktur kognitif siswa. Dan harus memperhatikan prinsip prinsip berikut; pengatur awal, diferensiasi progresif, belajar superordinate, dan penyesuaian integrative. Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan teori belajar Dienes melalui tahapan berikut; permainan bebas, permainan yang menggunakan aturan, permainan kesamaan sifat, permainan representasi, permainan simbolisasi, permainan formalisasi. Pembelajaran dengan pendekatan teori Van Heille melalui tahapan: tahap pengenalan, tahap analisis, tahap pengurutan, tahap deduksi formal, tahap keakuratan.
Kata Kunci: Belajar bermakna, belajar permainan, belajar geometri
Pendahuluan
Belajar tidak hanya sekedar menghafal melainkan mencoba mengaitkan antar konsep yang sudah ada didalam struktur kognitif dengan informasi baru sehingga menjadi lebih bermakna. Matematika merupakan ilmu pengetahuan yang penting sebagai pengantar ilmu-ilmu pengetahuan yang lain dan banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Pengajaran matematika tidak hanya ditekankan pada kemampuan berhitung, tetapi pada konsep-konsep matematika yang berkenaan dengan ide-ide yang bersifat abstrak. Sehingga diperlukan metode atau strategi dalam menyampaikan materi matematika yang abstrak itu menjadi konkret, selanjutnya dari permasalahan yang konkret tersebut baru dialihkan kebentuk konsep-konsep matematika yang abstrak. Untuk mengawali penyampaian materi yang abstrak melalui konkret itu dapat berpedoman pada teori belajar Dienes. Pada teori belajar Dienes, ditekankan pembentukan konsep-konsep melalui permainan yang mengarah pada pembentukan konsep yang abstrak. Teori belajar Dienes ini sangat terkait dengan teori belajar yang dikemukakan oleh Piaget, yaitu mengenai teori perkembangan intelektual. Jean Piaget berpendapat proses berpikir manusia sebagai suatu perkembangan yang bertahap dari berpikir intelektual konkret ke abstrak berurutan melalui empat periode. Urutan periode itu tetap bagi setiap orang, namun usia atau kronologis pada setiap orang yang memasuki setiap periode berpikir yang lebih tinggi berbeda-beda tergantung kepada masing-masing individu. Selaian menggunakan pendekatan teori Dienes dapat juga digunakan teori belajar Van Heille tentang pembelajaran geometri.
Rumusan Masalah
Bagaimanakah implementasi teori belajar David Ausubel dalam proses pembelajaran?
Bagaimanakah implementasi teori belajar Zoltan P Dienes dalam proses pembelajaran?
Bagaimanakah implementasi teori belajar Van Heille dalam proses pembelajaran geometri?

Pembahasan
Teori Belajar David Ausubel
David Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan. Ausebel memberi penekanan pada belajar bermakna. Menurut Ausubel belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran yang disajikan pada siswa melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada. Meliputi fakta, konsep, dan generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa.
Pada tingkat pertama dalam belajar, informasi dapat dikomunikasikan pada siswa dalam bentuk belajar penerimaan yang menyajikan informasi itu dalam bentuk final ataupun dalam bentuk belajar penemuan yang mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagaian atau seluruh materi yang akan diajarkan. Dalam tingkat ke dua siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi itu pada pengetahuan yang telah dimilikinya; dalam hal ini terjadi belajar bermakna. Akan tetapi siswa itu dapat juga hanya mencoba-coba menghafalkan informasi baru itu tanpa menghubungkan dengaan pengetahuan yang sudah ada dalam struktur kognitifnya; dalam hal ini terjadi belajar hafalan.
Belajar Bermakna
Bagi Ausebel belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Dalam belajar bermakna, informasi baru diasimilasikan pada subsume-subsumer yang telah ada. Dalam belajar bermakna, informasi baru a, b, c dikaitkan pada konsep-konsep relevan dalam struktur kognitif (subsume A, B, C).
Menurut Ausubel dan juga Novak (1977), ada tiga kebaikan dalam dari belajar bermakna, Yaitu: (1). Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama dapat diingat, (2). Informasi yang tersubsumsi berakibatkan peningkatan deferensiasi dari subsume subsume, jadi memudahkan proses belajar berikutnya untuk materi belajar yang mirip, (3). Informasi yang dilupakan sesudah subsumsi akan mempermudah belajar hal-hal yang mirip walaupun telah terjadi lupa.
Belajar Hafalan
Bila dalam struktur kognitif seseorang tidak terdapat konsep konsep relevan atau subsume-susumer relevan, informasi baru dipelajari secara hafalan. Bila tidak ada usaha yang dilakukan untuk mengasimilasikan pengetahuan baru pada konsep konsep relevan yang sudah ada dalam struktur kognitif, akan terjadi belajar hafalan.
Variabel yang mempengaruhi belajar penerimaan bermakna
Faktor faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel ialah struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Sifat sifat struktur kognitif menentukan validitas dan kejelasan arti arti yang timbul saat informasi baru masuk ke dalam struktur kognitif, demikian pula proses interaksi yang terjadi. Prasyarat belajar bermakna sebagai berikut: (1) materi yang akan dipelajari harus bermakna secara potensial, (b) siswa yang akan belajar harus bertujuan melaksanakan belajar bermakna, tujuan siswa merupakan factor utama dalam belajar bermakna.
Menerapkan Teori Ausubel dalam Mengajar
Untuk dapat menerapkan teori Ausubel dalam mengajar, agar terjadi belajar bermakna, konsep baru atau informasi baru harus dikaitkan dengan konsep konsep yang telah ada dalam struktur kognitif siswa. Konsep atau prinsip yang perlu diperhatikan dalam belajar bermakna:
  1. Pengaturan awal
Pengaturan awal mengarahkan para siswa ke materi yang akan mereka pelajari dan menolong mereka untuk mengingat kembali informasi yang berhubungan yang dapat dipergunakan dalam membantu menanamkan pengetahuan baru.
  1. Diferensiasi Progresif
Proses penyusunan konsep dengan cara mengajarkan konsep yang paling inklusif, kemudian konsep kurang inklusif, dan terakhir adalah hal hal yang paling khusus
  1. Belajar Superordinat
Belajar superordinate terjadi bila konsep konsep yang telah dipelajari sebelumnya.



  1. Penyesuaian Integratif
Untuk mencapai penyesuaian integrative, materi pelajaran hendaknya disusun demikian rupa sehingga kita menggerakkan hierarki hierarki konseptual keatas dan ke bawah selama informasi disajikan.
Teori Zoltan P Dienes
Zoltan P. Dienes adalah seorang matematikawan yang memusatkan perhatiannya pada cara-cara pengajaran terhadap anak-anak. Dasar teorinya bertumpu pada teori piaget, dan pengembangannya diorientasikan pada anak-anak, sedemikian rupa sehingga sistem yang dikembangkannya itu menarik bagi anak yang mempelajari matematika. Dienes berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap sebagai studi tentang struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan diantara struktur-struktur dan mengkatagorikan hubungan-hubungan di antara struktur-struktur. Dienes mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang disajikan dalam bentuk yang konkret akan dapat dipahami dengan baik. Ini mengandung arti bahwa benda-benda atau obyek-obyek dalam bentuk permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika.
Makin banyak bentuk-bentuk yang berlainan yang diberikan dalam konsep-konsep tertentu, akan makin jelas konsep yang dipahami anak, karena anak-anak akan memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep yang dipelajarinya itu.
Dalam mencari kesamaan sifat anak-anak mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih anak-anak dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan mereka dengan mentranslasikan kesamaan struktur dari bentuk permainan yang satu ke bentuk permainan lainnya. Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada dalam permainan semula..
Menurut Dienes konsep-konsep matematika akan berhasil jika dipelajari dalam tahap-tahap tertentu. Dienes membagi tahap-tahap belajar menjadi 6 tahap, yaitu:
1. Permainan Bebas (Free Play)
Dalam setiap tahap belajar, tahap yang paling awal dari pengembangan konsep bermula dari permainan bebas. Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktifitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Anak didik diberi kebebasan untuk mengatur benda. Selama permainan pengetahuan anak muncul. Dalam tahap ini anak mulai membentuk struktur mental dan struktur sikap dalam mempersiapkan diri untuk memahami konsep yang sedang dipelajari. Misalnya dengan diberi permainan block logic, anak didik mulai mempelajari konsep-konsep abstrak tentang warna, tebal tipisnya benda yang merupakan ciri/sifat dari benda yang dimanipulasi.
2. Permainan yang Menggunakan Aturan (Games)
Dalam permainan yang disertai aturan siswa sudah mulai meneliti pola-pola
dan keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu. Keteraturan ini mungkin terdapat dalam konsep tertentu tapi tidak terdapat dalam konsep yang lainnya. Anak yang telah memahami aturan-aturan tadi. Jelaslah, dengan melalui permainan siswa diajak untuk mulai mengenal dan memikirkan bagaimana struktur matematika itu. Makin banyak bentuk-bentuk berlainan yang diberikan dalam konsep tertentu, akan semakin jelas konsep yang dipahami siswa, karena akan memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep yang dipelajari itu. Menurut Dienes, untuk membuat konsep abstrak, anak didik memerlukan suatu kegiatan untuk mengumpulkan bermacam-macam pengalaman, dan kegiatan untuk yang tidak relevan dengan pengalaman itu. Contoh dengan permainan block logic, anak diberi kegiatan untuk membentuk kelompok bangun yang tipis, atau yang berwarna merah, kemudian membentuk kelompok benda berbentuk segitiga, atau yang tebal, dan sebagainya. Dalam membentuk kelompok bangun yang tipis, atau yang merah, timbul pengalaman terhadap konsep tipis dan merah, serta timbul penolakan terhadap bangun yang tipis (tebal), atau tidak merah (biru, hijau, kuning).
3. Permainan Kesamaan Sifat (Searching for communalities)
Dalam mencari kesamaan sifat siswa mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan mereka dengan menstranslasikan kesamaan struktur dari bentuk permainan lain. Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada dalam permainan semula. Contoh kegiatan yang diberikan dengan permainan block logic, anak dihadapkan pada kelompok persegi dan persegi panjang yang tebal, anak diminta
mengidentifikasi sifat-sifat yang sama dari benda-benda dalam kelompok tersebut
(anggota kelompok).
4. Permainan Representasi (Representation)
Representasi adalah tahap pengambilan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Para siswa menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu. Setelah mereka berhasil menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat dalam situasi-situasi yang dihadapinya itu. Representasi yang diperoleh ini bersifat abstrak, Dengan demikian telah mengarah pada pengertian struktur matematika yang sifatnya abstrak yang terdapat dalam konsep yang sedang dipelajari. Contoh kegiatan anak untuk menemukan banyaknya diagonal poligon (misal segi dua puluh tiga) dengan pendekatan induktif seperti berikut ini.
Segitiga Segiempat Segilima Segienam Segiduapuluhtiga
0 diagonal 2 diagonal 5 diagonal ..... diagonal ……. diagonal 
5. Permainan dengan Simbolisasi (Symbolization)
Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol matematika atau melalui perumusan verbal. Sebagai contoh, dari kegiatan mencari banyaknya diagonal dengan pendekatan induktif tersebut, kegiatan berikutnya menentukan rumus banyaknya diagonal suatu poligon yang digeneralisasikan dari pola yang didapat anak.
6. Permainan dengan Formalisasi (Formalization)
Formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam tahap ini siswa-siswa dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan kemudian merumuskan sifat-sifat baru konsep tersebut, sebagai contoh siswa yang telah mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampu
merumuskan teorema dalam arti membuktikan teorema tersebut. Contohnya, anak didik telah mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampu merumuskan suatu teorema berdasarkan aksioma, dalam arti membuktikan teorema tersebut.
Pada tahap formalisasi anak tidak hanya mampu merumuskan teorema serta membuktikannya secara deduktif, tetapi mereka sudah mempunyai pengetahuan tentang sistem yang berlaku dari pemahaman konsep-konsep yang terlibat satu sama lainnya. Misalnya bilangan bulat dengan operasi penjumlahan peserta sifat-sifat tertutup, komutatif, asosiatif, adanya elemen identitas, dan mempunyai elemen invers, membentuk sebuah sistem matematika. Dienes menyatakan bahwa proses pemahaman (abstracton) berlangsung selama belajar. Untuk pengajaran konsep matematika yang lebih sulit perlu dikembangkan materi matematika secara kongkret agar konsep matematika dapat dipahami dengan tepat. Dienes berpendapat bahwa materi harus dinyatakan dalam berbagai penyajian (multiple embodiment), sehingga anak-anak dapat bermain dengan bermacam-macam material yang dapat mengembangkan minat anak didik. Berbagai penyajian materi (multiple embodinent) dapat mempermudah proses pengklasifikasian abstraksi konsep.
Menurut Dienes, variasi sajian hendaknya tampak berbeda antara satu dan
lainya sesuai dengan prinsip variabilitas perseptual (perseptual variability), sehingga anak didik dapat melihat struktur dari berbagai pandangan yang berbeda-beda dan memperkaya imajinasinya terhadap setiap konsep matematika yang disajikan. Berbagai sajian (multiple embodiment) juga membuat adanya manipulasi secara penuh tentang variabel-variabel matematika. Variasi matematika dimaksud untuk membuat lebih jelas mengenai sejauh mana sebuah konsep dapat digeneralisasi terhadap konsep yang lain. Dengan demikian, semakin banyak bentuk-bentuk berlainan yang diberikan dalam konsep tertentu, semakin jelas bagi anak dalam memahami konsep tersebut.
Berhubungan dengan tahap belajar, suatu anak didik dihadapkan pada permainan yang terkontrol dengan berbagai sajian. Kegiatan ini menggunakan kesempatan untuk membantu anak didik menemukan cara-cara dan juga untuk mendiskusikan temuan-temuannya. Langkah selanjutnya, menurut Dienes, adalah memotivasi anak didik untuk mengabstraksikan pelajaran tanda material kongkret dengan gambar yang sederhana, grafik, peta dan akhirnya memadukan simbolo - simbol dengan konsep tersebut. Langkah-langkah ini merupakan suatu cara untuk memberi kesempatan kepada anak didik ikut berpartisipasi dalam proses penemuan dan formalisasi melalui percobaan matematika. Proses pembelajaran ini juga lebih melibatkan anak didik pada kegiatan belajar secara aktif dari pada hanya sekedar menghapal. Pentingnya simbolisasi adalah untuk meningkatkan kegiatan matematika ke satu bidang baru.
Dari sudut pandang tahap belajar, peranan guru adalah untuk mengatur belajar anak didik dalam memahami bentuk aturan-aturan susunan benda walaupun dalam skala kecil. Anak didik pada masa ini bermain dengan simbol dan aturan dengan bentuk-bentuk kongkret dan mereka memanipulasi untuk mengatur serta mengelompokkan aturan-aturan Anak harus mampu mengubah fase manipulasi kongkret, agar pada suatu waktu simbol tetap terkait dengan pengalaman kongkretnya.
Teori Belajar Van Hielle
Teori Van Hiele yang dikembangkan oleh Pierre Marie van Hiele dan Dina van Hiele-Geldof sekitar tahun 1950-an telah diakui secara internasional dan memberikan pengaruh yang kuat dalam pembelajaran geometri sekolah. Uni Soviet dan Amerika Serikat adalah contoh negara yang telah mengubah kurikulum geometri berdasar pada teori van Hiele. Pada tahun 1960-an, Uni Soviet telah melakukan perubahan kurikulum karena pengaruh teori van Hiele. Sedangkan di Amerika Serikat pengaruh teori van Hiele mulai terasa sekitar permulaan tahun 1970-an. Sejak tahun 1980-an, penelitian yang memusatkan pada teori van Hiele terus meningkat.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan membuktikan bahwa penerapan teori van Hiele memberikan dampak yang positif dalam pembelajaran geometri. Bobango (1993:157) menyatakan bahwa pembelajaran yang menekankan pada tahap belajar van Hiele dapat membantu perencanaan pembelajaran dan memberikan hasil yang memuaskan. Senk (1989:318) menyatakan bahwa prestasi siswa SMU dalam menulis pembuktian geometri berkaitan secara positif dengan teori van Hiele. Mayberry (1983:67) berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa konsekuensi teori van Hiele adalah konsisten. Burger dan Shaughnessy (1986:47) melaporkan bahwa siswa menunjukkan tingkah laku yang konsisten dalam tingkat berpikir geometri sesuai dengan tingkatan berpikir van Hiele. Susiswo (1989:77) menyimpulkan bahwa pembelajaran geometri dengan pembelajaran model van Hiele lebih efektif daripada pembelajaran konvensional. Selanjutnya Husnaeni (2001:165) menyatakan bahwa penerapan model van Hiele efektif untuk peningkatan kualitas berpikir siswa
Van Hiele adalah seorang pengajar matematika Belanda yang telah mengadakan penelitian di lapangan, melalui observasi dan tanya jawab, kemudian hasil penelitiannya di tulis dalam disertasinya pada tahun 1954. Penelitian yang di lakukan Van Hiele melahirkan beberapa kesimpulan mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri, Van Hiele menyatakan bahwa terdapat 5 tahap pemahaman geometri, yaitu Tahap pengenalan, analisis, pengurutan, deduksi, dan keakuratan.
1.      Tahap Pengenalan
 Tahap ini juga dikenal dengan tahap dasar, tahap rekognisi, tahap holistik, tahap visual Pada tahap ini siswa hanya baru mengenal bangun-bangun geometri, seperti bola, kubus, segitiga, persegi dan bangun-bangun geometri yang lainnya. Seandainya kita hadapkan dengan sejumlah bangun-bangun geometri, anak dapat memilah dan menunjukkan bentuk segitiga. Pada tahap pengenalan anak belum dapat menyebutkan sifat-sifat dari bangun-bangun geometri yang di kenalnya itu. Sehingga apabila kita ajukan pertanyaan, seperti  “Apakah pada sebuah persegi panjang, sisi-sisi yang berhadapan panjangnya sama?”, “Apakah pada persegi panjang kedua diagonalmnya sama panjang?”, sisiwa tidak akan bisa menjawabnya. Guru harus memahami betul karakter anak pada tahap pengenalan, jangan sampai anak diajarkan sifat-sifat bangun-bangun geometri tersebut, anak akan menerimanya melalaui hafalan bukan dengan pengertian.
2.      Tahap Analisis
Tahap ini juga dikenal dengan tahap deskriptif. Pada tahap ini sudah tampak adanya analisis terhadap konsep dan sifat-sifatnya. Apabila dalam tahap pengenalan anak belum mengenal sifat-sifat dari bangun-bangun geometri, tidak demikian pada tahap Analisis. Pada tahap  ini anak sudah sudah dapat memahami sifat-sifat dari bangun-bangun geometri. Pada tahap ini anak sudah mengenal difat-sifat bangun geometri, seperti pada sebuah kubus sisinya ada 6 buah, sedangkan banyak rusuknya ada 12. Seandainya kita tanyakan apakah kubus itu balok,  anak pada tahap ini belum memahami hubungan antara balok dan kubus. Anak pada tahap ananlisis belum mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangun geometri dengan geometri lainya. 
3.      Tahap Pengurutan ( Deduksi Informal )
Tahap ini juga dikenal dengan tahap abstrak, tahap abstrak/relasional, tahap teoritik, dan tahap keterkaitan. Hoffer, Argyropoulos dan Orton  menyebut tahap ini dengan tahap ordering. Pada tahap ini pemahaman siswa terhadap geometri lebih meningkat lagi dari sebelumnya yang hanya mengenal bangun-bangun geometri beserta sifat-sifatnya. Pada tahap ini anak sudah mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangun geometri dengan bangun geometri lainya. Misalnya, siswa sudah mnegetahui jajaran genjang itu trapesium, belah ketupat adalah layang-layang, kubus itu adalah balok. Pada tahap ini anak sudah mulai mampu untuk penarikan kesimpulan secara deduktif, tetapi masih pada tahap awal artinya belum berkembang baik. Oleh karena masih pada tahap awal siswa masih belum memberikan alasan yang rinci ketika ditanya mengapa kedua diagonal persegi panjang itu sama, mengapa kedua diagonal pada persegi saling tegak lurus.  
4.      Tahap Deduksi Formal
Pada tahap ini anak sudah dapat memahami deduksi, yaitu mengambil kesimpulan secara deduktif. Pengambilan kesimpulan secara deduktif , yaitu penarikan kesimpulan dari hal- hal yang bersifat khusus. Seperti kita ketahui bahwa matematika adalah ilmu deduktif. Matematika dikatakan sebagai ilmu deduktif karena pengambilan kesimpulan, membuktikan teorema dilakukan dengan cara deduktif. Sebagai contoh, untuk menunjukkan bahwa jumlah sudut-sudut dalam jajaran genjang adalah 3600  secara deduktif dibuktikan dengan menggunakan prinsip kesejajaran. Pembuktian secara induktif, yaitu dengan memotong-motong sudut – sudut benda jajaran genjang kemudian setelah itu ditunjukkan semua sudutnya membentuk sudut satu putaran penuh atau 3600 belum tuntas dan belum tentu tepat. Seperti diketahui bahwa pengukuran itu pada dasarnya mencari nilai yang paling dekat dengan ukuran yang sebenarnya, jadi mungkin bias keliru dalam mengukur sudut-sudut jajaran genjang tersebut. Untuk itu, pembuktian secara deduktif merupakan cara yang tepat dalam pembuktian pada matematika.
Clements & Battista  juga menyebut tahap ini dengan tahap metematika, sedangkan Muser dan Burger menyebut dengan tahap aksiomatik
Anak pada tahap ini telah mengerti pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, disamping unsur-unsur yang didefinisikan , aksioma atau problem, dan teorema. Anak pada tahap ini belum memahami kegunaan dari suatu sistem deduktif. Oleh karena itu, anak pada tahap ini belum bisa menjawab pertanyaan mengapa sesuatu itu disajikan teorema atau dalil.



5.      Tahap Keakuratan
Tahap terakhir dari perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri adalah tahap keakuratan. Pada tahap ini anak sudah memahami betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Anak pada tahap ini sudah memahami mengapa sesuatu itu di jadikan postulat atau dalil. Dalam matematika kita tahu bahwa betapa pentingnya suatu sistem deduktif. Tahap keakuratan merupakan tahap tertinggi dalam memahami geometri. Pada tahap ini memerlukan tahap berpikir yang kompleks dan rumit. Oleh karena itu, jarang atau hanya sedikt sekali anak yang sampai pada tahap berpikir ini sekalipun anak tersebut sudah berada di tingkat SMU.
Selain mengemukakan mengenai tahap-tahap perkembangan  kognitif dalam memahami geometri Van Hiele juga mengemukakan beberapa teori berkaitan dengan pengajaran geometri. Teori yang dikemukakan Van Hiele antara lain adalah sebagai berikut.
Tiga unsur yang utama pengajaran geometri, yaitu waktu, materi pengajaran dan metode penyusun apabila dikelola secara terpadu dapat mengakibatkan meningkatkan kemampuan berpikir anak kepada tahap yang lebih tinggi dari tahap yang sebelumnya.
Apabila dua orang yang mempunyai tahap berpikir berlainan satu sama lain, kemudian saling bertukar pikiran maka kedua orang tersebut tidak akan mengerti. Sebagai contoh, seorang anak tidak mengerti mengapa gurunya membuktikan bahwa jumlah sudut-sudut dalam sebuah jajaran genjang adalah 3600 , misalnya anak itu berada pada tahap pengurutan ke bawah. Menurut anak pada tahap yang di sebutkan, pembuktiannya tidak perlu sebab sudah jelas bahwa jumlah sudut-sudutnyta adalah 3600. Contoh yang lain seorang anak yang berada paling tinggi pada tahap kedua atau tahap analisis , tidak mengerti apa yang di jelaskan gurunya bahwa kubus itu adalah balok, belah ketupat itu layang-layang. Gurunya pun sering tidak mengerti mengapa anak yang di beri penjelasan tersebut tidak memahaminya. Menurut Van Hiele seorang anak yang berada pada tingkat yang lebih rendah tidak mengerti /memahami materi yang berada pada tingkat yang lebih tinggi dari anak tersebut. Kalaupun anak itu di paksakan untuk memahaminya, anak itu baru bisa memahami melalui hafalan saja bukan melalui pengertian.
Untuk mendapatkan hasil yang di inginkan, yaitu anak memahami geometri dengan pengertian, kegiatan belajar anak harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak atau disesuaikan dengan taraf berpikirnya. Dengan demikian anak dapat memperkaya pengalaman dan berpikirnya., selain itu sebagai persiapan untuk meningkatkan tahap berpikirnya kepada tahap yang lebih tinggi dari tahap sebelumnya.
Teori van Hiele mempunyai karakteristik, yaitu
  1. Tahap-tahap tersebut bersifat hirarki dan sekuensial,
  2. Kecepatan berpindah dari tahap ke tahap berikutnya lebih bergantung pada pembelajaran, dan
  3. Setiap tahap mempunyai kosakata dan sistem relasi sendiri-sendiri.
  4. Burger dan Culpepper juga menyatakan bahwa setiap tahap memiliki karakteristik bahasa, simbol dan metode penyimpulan sendiri-sendiri.
Setiap tahap dalam teori van Hiele, menunjukkan karakteristik proses berpikir siswa dalam belajar geometri dan pemahamannya dalam konteks geometri. Kualitas pengetahuan siswa tidak ditentukan oleh akumulasi pengetahuannya, tetapi lebih ditentukan oleh proses berpikir yang digunakan.
 Manfaat Teori Belajar Van Hiele Dalam Pengajaran Geometri
Teori-teori yang disampaikan oleh van hiele memang lebih sempit dibandingkan teori-teori yang dikemukakan oleh Piaget dan Dienes karena dia hanya mengkhususkan pada pengajaran geometri saja. Meskipun sumbangan tidak sedikit dalam pengajaran geometri. Berikut hal-hal yang diambil manfaatnya dari teori yang dikemukakan.
Guru dapat mengambil mafaat dari tahap-tahap perkembangan kognitif anak yang dikemukakan Van Hiele. Guru dapat mengetahui mengapa seorang anak tidak memahami bahwa kkubus itu merupakan balok karena anak tersebut tahap berpikirnya masih berada pada tahap analisis kebawah, anak belum  masuk pada tahap pengurutan.
Supaya anak dapat memahami geometri dengan pengertian, pengajaran geometri harus disesuaikan dengan tahap berpikir anak, jadi jangan sekali-kali memberi pengajaran materi yang sebenarnya berada diatas tahap berpikirnya. Selain itu dihindari siswa untuk menyesuiakan dirinya dengan tahap pengajaran guru, tetapi yang terjadi harus sebaliknya.
Agar topik-topik pada materai geomeatri dapat dipahami dengan baik anak dapat mempelajari topik-topik tersebut berdasarkan urutan tingkat kesukaranya dimulai dari tingkat yang paling mudah sampai dengan tingkat yang paling rumit dan kompleks. Tahap-tahap berpikir van Hiele akan dilalui siswa secara berurutan. Dengan demikian siswa harus melewati suatu tahap dengan matang sebelum menuju tahap berikutnya. Kecepatan berpindah dari suatu tahap ke tahap berikutnya lebih banyak bergantung pada isi dan metode pembelajaran daripada umur dan kematangan. Dengan demikian, guru harus menyediakan pengalaman belajar yang cocok dengan tahap berpikir siswa.
Kesimpulan
  1. Agar terjadi belajar bermakna, konsep baru atau informasi baru harus dikaitkan dengan konsep konsep yang telah ada dalam struktur kognitif siswa. Dan harus memperhatikan prinsip prinsip berikut; pengatur awal, diferensiasi progresif, belajar superordinate, dan penyesuaian integrative.
  2. Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan teori belajar Dienes melalui tahapan berikut; permainan bebas, permainan yang menggunakan aturan, permainan kesamaan sifat, permainan representasi, permainan simbolisasi, permainan formalisasi.
  3. Pembelajaran dengan pendekatan teori Van Heille melalui tahapan: tahap pengenalan, tahap analisis, tahap pengurutan, tahap deduksi formal, tahap keakuratan.

Daftar Pustaka
Abdus Sakir. 2009. Pembelajaran geometrid an teori Van Heille. http://abdussakir.wordpress.com/2009/01/25/pembelajaran-geometri-dan-teori-van-hiele. Artikel.
Dahar, Ratna Wilis. 2006. Teori teori belajar dan pembelajaran. Jakarta: Erlangga.
Joyce, Bruce dan Weil, Marsha. 2011. Models of teaching;model model pengajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Schunk. 2012. Learning Theories; an educational perspective. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.